memperbudak para mama 7

Aku memandang selembar kertas yang ditempel di dinding pengumuman sekolah. Tinggi badan Boni yang lebih pendek dariku membuatnya harus menjinjitkan kedua kakinya agar bisa membaca tulisan di kertas tersebut. Tetapi kemudian dia menyerah.

“Itu pengumuman apa? Sekolah diliburkan?” ia bertanya penuh harap. Aku menggelengkan kepala. Ia menatapku kecewa.

“Bukan. Ini pengumuman lomba jalan santai tujuhbelasan,” jawabku sambil terus membaca deretan tulisan di kertas itu. “Hari ini tanggal 15, berarti lomba ini akan diadakan dua hari lagi. Oh ada hadiahnya juga, tetapi palingan hadiahnya cuma satu paket alat tulis.”

“Apakah kita wajib ikut?” tanya Boni lagi.

“Sayangnya iya. Hmmm… aku yakin lombanya tidak hanya jalan santai. Mungkin ada lomba lain seperti panjat pinang. Siapa tahu. Kamu mau ikut?”

“Jelas saja aku mau ikut!” ujarnya bersemangat. “Kita akan membawa mama kita masing-masing! Barangkali ada kejadian menarik kalau kita membawa mereka.”

“Ya itu pasti. Pihak sekolah tentu tidak akan keberatan bila kita membawa orangtua. Mama kita sepatutnya menjadi tontonan publik. Oke oke, mari kita menghibur para teman-teman kita,” kataku ikut bersemangat. “Tidak ada hari yang membosankan selama masih ada mama kita.”

Sepulang dari sekolah, aku menyerahkan kertas pengumuman yang aku ambil dari papan penumuman sekolah ke mama. Ia sedang duduk di bangku warung sembari menunggu pelanggan datang. Setelah mama membaca kertas pengumuman itu, ia memandangiku dengan penuh curiga.

“Mama tahu kamu pasti berencana menelanjangi mama di depan teman-teman kamu,” ujarnya dengan tatapan sedih. “Mama sudah tidak tahu lagi bagaimana melindungi tubuh mama; hampir semua orang sudah melihat tubuh mama. Tolong hentikan ini nak.”

“Hmmm… susah mau berhenti ma. Selama ini masih besar maka tidak akan berhenti,” kataku sambil mentutul kedua payudara mama yang tersembunyi di dalam kaosnya. “Sudahlah mama tidak perlu banyak tanya. Lakukan saja maka semuanya akan beres.”
Hari itu pun tiba. Langit pagi menerawang cerah. Ini sebuah pertanda baik untuk memulai sebuah kegiatan jalan santai. Aku sudah mengenakan sepatu olahragaku dan bersiap pergi. Ketika aku hendak membuka pintu, mama masih terlihat ragu. “Apa benar mama harus berpakaian seperti ini?” tanyanya.

Aku menatap mama yang berpakaian serba ketat: sebuah kaos putih super ketat yang ukurannya dua kali lebih kecil daripada ukuran tubuh mama, namun bahannya cukup elastis sehingga tidak mudah robek. Kedua tetek mama seperti mau meledak keluar dari dalam kaosnya. Sementara itu untuk tubuh bagian bawah, mama mengenakan celana olahraga pendek berwarna hitam yang panjangnya hanya beberapa sentimeter di bawah pinggang sehingga nyaris terlihat seperti celana dalam. Walaupun mama mengenakan celana dalam, hal itu tidak mampu menyembunyikan belahan pantatnya yang menonjol.

“Mama pilih mana antara pakai baju itu atau bertelanjang bulat dari sini ke sekolah?”

“Iya nak, iya,” sahut mama memelas.

Sesampainya di sekolah, ternyata para siswa dan guru sudah memulai jalan santai sekitar lima belas menit lalu. Jam tanganku menunjukkan pukul delapan lewat tujuh belas menit, padahal acara jalan santai dimulai pada pukul delapan tepat. Aku hampir saja memutuskan balik ke rumah kalau seandainya aku tidak melihat Boni dan ibunya yang muncul dari balik gerbang sekolah. Mereka juga telat datang.

“Astaga aku kira acaranya belum dimulai!” seru Boni sambil menepuk keningnya. “Tapi tenang saja, sepertinya mereka mengikuti jalur jalan santai seperti tahun kemarin. Ya hanya itu satu-satunya jalur jalan santai yang kita punya.”

Aku memandang Ibu Boni yang berpakaian olahraga lengkap tanpa ada menonjolkan tubuhnya sama sekali. Setelah itu aku memandang Boni dengan kecewa.

“Apa-apaan penampilan ibu kamu ini?” kataku kesal. “Katanya mau memamerkan tubuh ibu kamu? Lalu apa maksudnya pakaian yang serba tertutup ini?” kataku sambil menarik-narik celana panjang training warna kuning milik Ibu Boni. Kaos hitam yang dikenakan Ibu Boni juga sama sekali tidak menonjolkan lekuk tubuhnya.

“Aku tadi terburu-buru,” kata Boni beralasan.

“Kalau begitu sepanjang perjalanan dia harus begini…” kataku sembari menarik celana panjang Ibu Boni ke bawah. Celananya ternyata begitu mudah diturunkan; hanya dengan sekali sentakan, celana itu turun dengan mudahnya sampai di kedua mata kaki. Ibu Boni menatap tajam ke arahku. Sempaknya yang berwarna hitam sangat kontras dengan celana trainingnya.

“Masa aku jalan santai cuma bersempakan begini?” protesnya. “Bagaimana kalau guru lain lihat?”

“Ya jangan sampai terlihat pokoknya,” jawabku santai.

“Wah kenapa gak terpikir ya,” kata Boni. “Tahu begini seharusnya mama kayak gini saja dari tadi. Aku memang kurang kreatif.”
“Jadi kapan aku bisa memakai celanaku lagi?” tanya Ibu Boni penuh harap.

“Memakai benda ini? Tidak akan,” jawabku ketus. Aku mengambil paksa celana ini lalu melemparnya ke tempat sampah. “Ibu Boni pakai beha? Lepas itu sekarang juga.”

Ibu Boni melepas behanya lalu menyerahkannya kepadaku. Aku mengambil benda yang dianggap suci oleh kaum wanita itu lalu melemparnya ke tempat sampah. Sekarang Ibu Boni terlihat lebih menggoda dibandingkan sebelumnya: hanya mengenakan kaos hitam dengan puting nyeplak di kaosnya dan sempak yang juga berwarna hitam yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Untuk mama, jangan khawatir,” kataku ke mama yang sedari tadi gugup. “Mama ada porsinya juga nanti. Nah ayo kita jalan.”

Jalur jalan santai yang dimaksud Boni adalah sebuah jalan setapak menuju ke perbukitan yang terletak di belakang sekolah. Jalan itu sebenarnya adalah jalan menuju ke pertanian; karena diapit oleh ladang padi di kiri dan kanan jalan, akibatnya jalan itu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki atau sepeda motor. Seorang anak kecil tidak perlu khawatir bila melewati jalan itu karena jalan itu cukup ramai dilewati orang.

Mama dari tadi berjalan sambil mengawasi sekelilingnya. Ia terus menerus menutupi belahan pantatnya dengan kedua tangannya. Meski ia sudah berkali-kali memamerkan tubuhnya, tetapi rasa gugupnya tidak juga hilang. Sementara Ibu Boni berusaha cuek dengan terus berjalan tanpa menutupi sempaknya seperti yang dilakukan mama. tampaknya Ibu Boni lebih berani daripada mama. Itu membuatku sedikit gemas.

“Bisa berhenti sebentar,” pintaku. Yang lainnya segera menghentikan jalan. “Ibu Boni sepertinya tidak terlalu terganggu ya, nah sekarang lepas baju ibu.”

“Lepas? Nanti tetekku kelihatan dong!” ia memprotes.

“Lha memang itu tujuannya,” kataku lagi.

Ibu Boni menatapku dengan murka, namun tak lama kemudian ia meraih bagian bawah bajunya lalu menariknya ke atas. Kedua teteknya yang padat berisi langsung memantul-mantul tergesek bajunya ketika dilepas. Ia menaruh kaos tersebut ke semak-semak di pinggir jalan. “Sudah puas kamu?” katanya penuh amarah.

“Oke sip sip,” aku mengangguk puas.

Boni tertawa melihat ibunya telanjang. “Mama memang lebih cocok tidak pakai baju, benar-benar lebih mantap telanjang begitu,” komentarnya.

Kami melanjutkan perjalanan. Meski Ibu Boni berusaha tetap cuek, namun ia tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu. Aku melirik teteknya yang sedikit berurat kehijauan. Sepertinya Boni habis menyusu ke ibunya sebelum berangkat ke sekolah.

Setelah berjalan sekitar seratus meter, dari kejauhan terlihat dua orang anak sedang duduk di bawah pohon rinang sambil menikmati botol minuman. Dari pakaian olahraga yang dikenakan mereka berdua, aku tahu kalau mereka adalah siswa dari sekolahku.

“Ibu Boni bisa melihat dua anak itu?” tanyaku. “Ya, yang mengenakan pakaian olahraga hijau kuning itu. Lihat bukan?”

“Iya aku lihat, memangnya kenapa?” ia bertanya balik.

“Susui mereka.”

“Yang benar saja kamu!” seru Ibu Boni. Ia menutupi kedua teteknya dengan salah satu tangannya.

“Sudahlah ayo maju,” kataku sambil mendorongnya maju. Ibu Boni mendengus kesal, lalu ia berjalan maju mendekati dua siswa yang sedang beristirahat itu. Kedua anak itu menatap ke Ibu Boni dengan pandangan takjub. Salah satu dari mereka bahkan sampai menjatuhkan botol air minumnya.

“Loh bibi ini ibunya Boni kan?” kata salah satu anak itu.

“Eh… anu… kalian haus ya?” tanya Ibu Boni gugup. Keringat deras mengucur deras dari keningnya sampai ke dagu. Bulir-bulir keringat itu perlahan-lahan jatuh ke belahan dadanya yang Nampak berpori-pori karena cuaca panas.

“Iya bi haus banget malah,” ujar salah satu dari mereka. “Panas-panas begini makanya itunya bibi gak ditutupi ya? Mamaku biasanya begitu juga tapi dia cuma berani di dalam rumah saja.”

“Wah enak dong bisa ngelihat tetek mama kamu,” seru anak satunya lagi.

“Lumayanlah, tapi gak seberani bibi ini,” kata anak itu sambil menunjuk ke Ibu Boni.

Ibu Boni memberanikan dirinya. “Kalau kalian masih haus, kalian boleh minum susu bibi,” kata Ibu Boni seraya meremas kedua payudaranya yang terlihat lunak. “Bibi dengar anak seusia kalian masih membutuhkan susu, ayo sini minum susu bibi.”

Ibu Boni duduk sambil menyenderkan punggungnya ke batang pohon tempat anak-anak itu berteduh. Ia masih meremas-remas payudaranya seakan-akan hendak memompa susunya di dalamya. Kedua anak itu saling menatap satu sama lain. Salah satu dari mereka mencoba menarik puting tetek Ibu Boni. Ibu Boni sontak mendesah. “Ssssssh… plan-pelan,” katanya. Anak itu langung melepas puting itu dari jari jemarinya karena kaget.

“Kenapa dilepas? Pegang saja jangan takut,” kata Ibu Boni.

Kedua anak itu mulai memberanikan diri dengan meraba-raba tetek Ibu Boni yang sepertinya membengkak karena remasannya sendiri. Secara hampir bersamaan, mulut kedua anak itu tahu-tahu sudah menempel di payudara Ibu Boni. Dilihat dari pipi mereka yang berdenyut, mereka jelas sedang menghisap pentil Ibu Boni dengan bersemangat.

“Nnnngghhh…,” Ibu Boni menutup salah satu matanya menahan nyeri karena salah satu anak itu ada yang menggigit putingnya. Ia mengusap-usap kepala kedua anak itu. Kedua anak itu semakin membenamkan kepala mereka ke dalam gumpalan payudara Ibu Boni yang menutupi sampai ke pipi mereka.

“Loh sejak kapan…,” seru Ibu Boni ketika menyadari celana dalamnya sudah melorot sampai ke mata kakinya. Salah satu anak itu pasti ada yang melakukannya atau dia sendiri yang secara tidak sadar memelorotkannya sendiri. Sambil terus menyusu, kedua anak itu menahan kedua kaki Ibu Boni dengan tangan mereka sehingga memek Ibu Boni terbuka lebar.

“Wah memeknya Ibu Boni persis seperti punya mama,” kataku sambil melirik mama di sebelahku. Mama membuang muka.
“Aku duluan!” seru salah satu anak itu. Rupanya anak itu baru saja mau memasukkan tangannya ke dalam memek Ibu Boni dan ternyata ia bersentuhan dengan tangan temannya yang juga mau melakukan hal yang sama.

“Oke oke silakan,” kata anak satunya mengalah.
Anak itu tersenyum penuh kemenangan. Ia memasukkan kelima jari tangannya ke dalam memek Ibu Boni. Tubuh Ibu Boni mengejang sebentar lalu kembali tenang. Anak itu memainkan jari jemarinya di dalam memek Ibu Boni. Ibu Boni menggigit bibir bawahnya menahan berbagai perasaan yang berkecamuk di pikirannya. Anak itu melepas kulumannya lalu membuka celananya sambil terus membenamkan salah satu tangannya ke dalam memek Ibu Boni. Ibu Boni menatap kontol anak itu yang sudah tegak berdiri menghadap wajahnya.

“Bi isap dong,” pinta anak itu. Ia mengeluarkan tangannya dari dalam memek Ibu Boni dan membiarkan tangan temannya yang gantian mengutak-atik memek wanita itu.

“Tapi ini sudah…” kata Ibu Boni kebingungan.

“Sudah isap saja bi!” seru anak itu sambil menarik kepala Ibu Boni mendekati kontolnya. Bibir Ibu Boni serta merta menempel di kontol anak tersebut. “Phueeh!” ia menjauhkan wajahnya sebentar. Anak itu terus memaksa Ibu Boni agar mendekat ke kontolnya. Ibu Boni memejamkan matanya lalu memasukkan kontol anak itu ke dalam mulutnya.

“Nah begitu dong, bibi cerdas deh. Gak salah si Boni punya ibu seperti bibi,” kata anak itu sambil menepuk-nepuk kepala Ibu Boni. Ia menggerakkan kepala Ibu Boni secara maju mundur agar kontolnya terkocok. Ibu Boni terus memejamkan matanya dan membiarkan kedua anak bengal itu bertindak sesukanya. Anak yang lain ternyata sibuk menjilat memeknya dengan lahap.

Srrrrrr… srrrrrrr…

Cairan kental membasahi tanah yang diduduki Ibu Boni. Ia terkapar dengan posisi bersender di pohon. Muluta mengeluarkan cairan putih yang meluber sampai ke dagunya. Kedua anak itu menaikan celana mereka masing-masing. Mereka menyempatkan diri untuk meremas-remas tetek Ibu Boni yang terjuntai tanpa penutup.

“Kalian yang di sana! Cepat ikuti rombongan lain!” seru seseorang dari kejauhan. Sepertinya itu suara dari salah satu guru. Kedua anak itu mengambil ransel mereka dan bergegas pergi. Aku mendekati Ibu Boni yang masih terkapar lemas. Kuamati baik-baik memeknya yang menganga. Memeknya masih saja mengeluarkan cairan bening mengalir perlahan-lahan di sela-sela kedua pahanya.

“Masih mau?” tanyaku.

Ibu Boni menggeleng.

“Tidak. Aku tidak mau lagi,” jawabnya.

Matahari mengintip malu-malu di balik awan. Jalur jalan santai ini cukup panjang dan membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk mengitari sebagian daerah perbukitan. Aku berjalan ke belakang mama lalu aku pelorotkan celananya sampai ke betisnya. Memeknya yang ditumbuhi bulu lebat langsung mencuat keluar.

“Nah, ayo kita lanjutkan perjalanan sampai bertemu yang lain,” kataku sambil menarik celana mama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Seks: Bocah Nyusu Plus Ngentot Efni

Mama Gitu Dehh 1 - 5

Tukang Kebun yang Menggarap Memekku