memperbudak para mama 5 - 6

Deni meninju perutku keras-keras. Tubuhku sampai terdorong ke dinding kelas. Aku bisa merasakan cairan asam lambung yang naik ke tenggorokanku. Aku jatuh tersungkur di lantai. Tidak ada yang menolong, tidak ada yang menonton. Hanya tanaman-tanaman hias di kebun halaman belakang sekolah saja yang terus menyaksikan kami dengan membisu.

“Ingat ya bangsat!” seru Deni sambil menarik kerah bajuku. “Lain kali kalau aku minta uang, ya berarti kamu harus serahkan semua uang yang kamu punya! Bodo amat kamu mati kelaparan atau tidak!”

Aku terus saja diam. Aku yakin aku bakal mati hari ini, tetapi bayangan gelap di wajah Deni tahu-tahu sudah hilang dan tergantikan dengan sinar matahari siang yang mengintip dari rimbunan daun pohon nangka.
Rupanya aku pingsan.

Sambil memegangi perutku yang mual, aku berusaha berjalan menuju ruang kelas. Halaman belakang sekolah terlihat sepi karena memang tidak ada yang menarik untuk dilihat kecuali kamu adalah penggemar berat tanaman hias. Jam digital berbentuk wajah Mickey Mouse di tanganku menunjukkan pukul 12.45 pm, berarti aku pingsan sekitar sepuluh menit. Lima belas menit lagi bel masuk kelas berbunyi. Aku harus masuk kelas sebelum terlambat.

“Kau baik-baik saja?” tanya Boni khawatir. Aku berusaha kuat sambil menahan sakit di perutku yang kini sudah agak berkurang. “Tidak apa-apa. Ada sedikit masalah dengan Deni tadi,” jawabku.

“Astaga! Kau berkelahi dengannya?” seru Boni tak percaya. “Siapa pun yang berkelahi dengannya pasti langsung tidak masuk sekolah seminggu! Kau baiknya tidak cari masalah dengan anak kelas lima itu.”

“Setiap laki-laki pasti berkelahi,” kataku. Aku berpikir sejenak. “Hei bukankah Deni tetanggamu? Bagaiamana penampilan ibunya?”

Boni menatap ke atas seraya berpikir. “Ibu Deni lumayan menarik. Rambutnya dipotong pendek dibawah lehernya, agak gemuk, tetapi ukuran dada dan pantatnya cukup membuat siapa saja menoleh. Kalau kau tahu maksudku.”

Aku mengangguk-anggukan kepala. Kemudian aku membisikan sesuatu ke Boni. Boni melotot ke arahku, tetapi kemudian ia juga mengangguk-anggukan kepala. “Oke, sepulang sekolah ini kita akan ke rumahnya. Deni juga selalu bermain sepak bola setiap pulang sekolah dan pulang ketika sore. Aku akan membawa ponsel ibuku nanti.”

Begitu bel waktu pulang sekolah berbunyi, kami langsung berlari-lari kecil menuju ke rumah Deni. Rumah Deni cukup besar dan halamannya cukup luas dengan sebuah kolam ikan hias kecil di tengahnya. Aku duduk di dekat pagar sembari menunggu Boni yang mampir dulu ke rumahnya untuk mengambil ponsel ibunya. Tak lama kemudian Boni pun muncul dari balik pagar sembari mengayun-ayunkan ponsel ibunya. Kami lalu bergegas masuk ke halaman rumah Deni melalui pintu pagar di halaman belakang.

Kami tidak perlu khawatir ada yang melihat kami menyelinap masuk ke halaman rumah Deni karena pagar halaman rumahnya cukup melindungi kami dari pandangan luar. Aku mengintip ke dalam rumah Deni lewat sebuah jendela yang terbuka sedikit. Tidak ada siapa-siapa.

“Aman,” kataku.

Boni menggerak-gerakan ganggang pintu yang sepertinya merupakan jalan masuk ke dapur. “Dikunci dari dalam,” bisiknya. Aku mengintip di lubang kunci yang berukuran besar tersebut. Sepertinya batang kuncinya dibiarkan masuk ke dalam lubang kunci. Aku buka tas ranselku dan mengambil beberapa kertas dari buku gambar yang berukuran lebar lalu menaruhnya di celah bawah pintu. Kemudian aku memasukkan pensil ke lubang kunci dan mendorongnya.

Pluk! Terdengar suara batang kunci yang jatuh. Aku cepat-cepat menarik kertas di bawah celah pintu dan kunci itu pun aku dapatkan. “Cerdas!” seru Boni tertahan. Aku menaikkan dagu dengan sombong. Dengan kunci itu, kami bisa membuka pintu dapur dan kami buru-buru masuk ke dalam.

Suasana dapur itu sedikit menyeramkan karena lampu-lampunya dimatikan dan hanya ada seberkas cahaya matahari saja yang merembet masuk ke dalam melalui celah ventilasi udara. Kami merangkak masuk menuju ke ruang tamu. Dari kejuhan terdengar suara televisi yang menyala dan suara dengkuran seseorang. Karena Boni sudah pernah berada di rumah ini sebelumnya, aku cukup mengikutinya dari belakang.

“Itu ibunya,” bisik Boni. “Sesuai dugaan, ini adalah jam tidur siangnya.”

Aku menatap tubuh seorang wanita berambut pendek seleher yang sedang tertidur pulas di sofa dengan hanya mengenakan celana hotpants ketat berwarna hitam dan tanktop merah muda. Wajahnya cantik juga; hidungnya mancung dan bibirnya tertutup walau sesekali mendengkur. Ibu Deni jelas seorang yang pandai merawat dirinya. Aku bisa melihat dari kulit wajahnya yang tanpa kerutan dan masih terlihat kencang.

“Oke siapkan ponselmu,” aku memberi aba-aba. Aku membuka baju seragam sekolahku dan menggulungnya kecil-kecil hingga menyerupai seutas tali. Dengan sangat perlahan, aku mengangkat tangan kanan Ibu Deni yang tersampir di pinggangnya. Untung saja ia tidur dalam keadaan miring ke kiri, jadi aku bisa melakukannya dengan mudah.

Yang sulit justru menarik tangan kirinya yang tertindih oleh tubuhnya sendiri agar bisa berada di belakang bersama dengan tangan kanannya. Boni membantuku dengan mengangkat tubuh Ibu Deni sampai pinggangnya terangkat beberapa senti dari sofa. Aku langsung menarik tangan kirinya secepat yang aku bisa. “Hmmmm…” gumam Ibu Deni. Aku dan Boni menarik nafas. Misi ini bisa gagal total bila ia terbangun. Tapi kemudian Ibu Deni menarik nafas teratur kembali, aku dan boni menjadi lega. Kedua tangannya kini sudah berada di belakang tubuhnya. Aku mengikat kedua tangannya dengan menggunakan gulungan baju seragamku. Aku mengangguk puas.

Aku masukkan tanganku ke dalam tanktop Ibu Deni dan mencari-cari pentilnya. Teteknya cukup besar juga dan masih terbungkus beha, jadi agak sulit untuk meraba masuk ke dalam. “Aha ini dia!” kataku. Aku segera memencet gumpalan daging kenyal di antara jari jempol dan jari telunjukku. Ibu Deni sontak terbangun.

“Ad… ada apa ini? Eh kalian temannya Deni bukan? apa yang kalian lakukan di sini?” ia terperangah. Ketika ia sadar kalau kedua tangannya terikat, ia langsung berusaha melepaskan diri. “Kenapa aku diikat? Tolong!”

“Ibu jangan berteriak begitu,” kataku tenang. “Kalau ibu masih berniat berteriak, Boni akan meng-upload semua kejadian ini ke dunia maya.”

Aku menunjuk ke arah Boni yang sedang memantau kami dengan kamera ponselnya yang menyala. Boni melihat balik ke arah kami berdua. “Say hello!” katanya terkekeh.

Ibu Deni akhirnya diam. Ia menatapku dan berkata, “Jadi apa yang kalian malu?”

“Kami tidak mau apa-apa,” jawabku. “Kami hanya ingin Ibu Deni yang cantik ini bisa menuruti keinginan kami berdua. Apa pun keinginan itu.”

“Jelas saja aku tidak mau!”

“Ibu tidak punya pilihan apa-apa selain ‘mau’,” kataku. “Hanya dengan sekali tekan, maka video ini akan streaming ke seluruh dunia.”

“AKU TIDAK MAU!”

“Oke, Bon tekan tombolnya,” kataku tajam.

“Baik boss,” tanggap Boni. Ia membuat gerakkan seakan-akan hendak menekan tombol ponselnya.

“Tunggu!” seru Ibu Deni. Wajahnya pucat pasi. “Baiklah, akan aku turuti semua keinginan kalian. Ja… jangan pernah tekan tombol streaming itu.”

“Apa saja?” aku mencoba meyakinkan. “Termasuk bugil di tempat umum?”

Ibu Deni menghela nafas. “Iya, selama itu masih wajar,” jawabnya memelas.

“Oke, deal!” seruku sambil meremas-remas payudaranya. “Sebenarnya tidak ada kata wajar di kepalaku. Kita akan bersenang-senang dengan sangat tidak wajar.”

Aku raba-raba bagian memek Ibu Deni yang masih tertutupi celana hotpants. Saat jariku tepat mengenai belahan memeknya, aku segera menggesek-geseknya. “Hhnngh…” desah Ibu Deni. Aku terus menggeseknya sampai celananya terasa lembap. Setelah dirasa cukup, kupelorotkan celananya sampai betis dan ah, Ibu Deni ternyata tidak memakai sempak.

“Terus merekam,” kataku ke Boni. Boni mengacungkan jempolnya sambil terus memfokuskan pandangan ke layar ponselnya.

Berbeda dengan mama dan Ibu Boni, memek Ibu Deni dicukur habis hingga benar-benar bersih. Lubang memeknya terlihat menutup dan meneteskan sedikit cairan bening. Aku meraih ranselku dan mengambil sebuah timun yang ukurannya melebihi pergelangan tanganku. Aku memetiknya di kebun halaman belakang sekolah tadi saat jam pulang sekolah.

Aku duduki perut Ibu Deni dengan menghadap ke arah memeknya. Celananya sudah aku lepas dari kakinya sehingga kakinya bisa direnggangkan. Ia bisa saja menendang kami berdua, tapi ia tetap pasrah saat kedua kakinya aku perlebar sampai lubang memeknya ikut melebar. Ia pasti ingat ancamanku tidak main-main.

“Aa... apa yang kamu lakukan?” tanya Ibu Deni cemas saat melihatku mengarahkan ujung timun ke memeknya. “Nah silakan menikmati produk sekolah kami,” jawabku sambil menghujamkan timun itu ke dalam memeknya.

“Aduh!” erang Ibu Deni. Timun itu masuk sampai setengahnya dan memek Ibu Deni semakin melebar. Aku gesek-gesek timun tersebut sambil menjilati pinggiran memeknya yang kasar karena ada beberapa bulu kecil yang baru tumbuh. “Aaaah… jangan terlalu dalam,” erangnya lagi.

Aku biarkan timun itu berada di dalam memeknya. Kuputar tubuhku dan kutatap mata Ibu Deni yang memelas. Kaos tanktopnya aku sibak ke atas sampai ke atas payudaranya sampai teteknya menyembul keluar. Sebuah kait berwarna putih terletak di antara kedua pembungkus payudaranya. Kulepas kait itu dan… Tak! Behanya otomatis terbuka dan kini tidak ada yang melindungi kedua tetek Ibu Deni yang bulat. Pentilnya seperti tenggelam di aerolanya. Jelas ia jarang dihisap. Aku tutul pentil kanannya dan Ibu Deni mengejang karena geli.

“Sayang sekali tetek sebagus ini jarang digunakan,” kataku. Dengan lahap, kumasukkan pentil Ibu Deni ke dalam mulutku lalu kuhisap kuat-kuat. “Sssss…hhhhh… pelan-pelan,” kata Ibu Deni sambil menutup salah satu matanya. Sembari menghisap, tanganku menarik-narik pentil lainnya. Pentilnya begitu kenyal dan lunak, aku harus berhati-hati agar jangan sampai menggigitnya terlalu keras.

Plop! Pentil Ibu Deni menyembul keluar ketika aku melepas mulutku. Pentilnya merekah dari dalam aerolanya dan sekarang terlihat merah kecokelatan. Aku berdiri sebentar dan menurunkan celanaku. Ibu Deni menatapku tak percaya. “Oh tidak, jangan masukan kontol ke dalam memekku.”

“Siapa yang mau mengentot ibu?” kataku sambil mengarahkan batang kontolku yang sudah mengeras ke mulutnya. Ibu Deni menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terus menutup mulutnya saat ujung kontolku bersentuhan dengan bibirnya. “Ayo bu buka mulutnya,” kataku dengan sabar. Ia masih saja menutup mulutnya. Aku oles bibirnya dengan ujung kontolku. “Kalau tidak mau, Boni akan.... aaaah…”

Mendadak Ibu Deni membuka mulutnya dan melahap batang kontolku. Lidahnya yang basah bermain-main di bagian bawah kontolku dan itu membuatku sampai menutup mata keenakan. Aku pompa pinggangku agar kontolku bisa keluar masuk di mulutnya. Semakin lama mulutnya semakin basah. Aku semakin mempercepat gerakanku.

“Huuaah…” Ibu Deni melepas hisapannya dan meludahkan cairan spermaku dari mulutnya. Aku mengocok kontolku dan menumpahkan sisa sperma tepat di wajahnya. Spermaku mengalir dari pipinya yang tirus menuju ke bibirnya yang merah seperti bekas lipstick. Aku mengusap-ngusap pentilnya yang masih mengacung. Setelah puas, aku memakai kembali celanaku.

Boni merekam adegan itu sambil menganga. Aku menepuk pundaknya, ia terkejut dari lamunannya lalu mengacungkan jempol. “Hebat bosku,” katanya.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu pagar terbuka. Boni mengintip dari balik jendela. “Deni sudah pulang! Ayo kita balik!” serunya. Aku cepat-cepat merapikan bajuku. Setelah selesai, kami bergegas pergi.
“Eh tunggu dulu!” seru Ibu Deni. “Lepaskan dulu ikatan ini, nanti anakku bisa kaget kalau melihatku seperti ini!”

Aku tertawa mendengarnya. “Lha memang itu tujuan kami kemari,” kataku sembari berjalan menuju dapur. Aku dan Boni segera keluar melalui pintu dapur dan menunggu sebentar.

“1… 2… 3…” Aku memberi aba-aba.

“Lho i… ibu sedang apa? kok ada timun di itunya ibu?!” seru Deni dari dalam ruang tamu. Aku dan Boni tertawa cekikan. Boni memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Sebenarnya kami berbohong soal akan men-streaming-kan adegan saat mencabuli Ibu Deni, tetapi dia tetap percaya pada kami. Tetapi Boni benar-benar merekam adegan itu. “Dan kini, kita bisa memakai ibunya sebagai mainan baru. Enaknya besok kita apain yah?” tanyaku. Boni berpikir sebentar.

"Ingat janji kemarin bukan?" kataku ke Ibu Deni. Ibu Deni menganggukan kepalanya tanpa berkomentar. Boni merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan dua buah walkie talkie. Satu walkie talkie diserahkan ke Ibu Deni, sementara satunya lagi ia pegang sendiri. Boni kemudian menekan tombol ON di walkie talkie miliknya. Bzzzzzz! Terdengar suara echo dari walkie talkie di tangannya dan di tangan Ibu Deni.

"Bagus," komentarnya. "Walkie talkie mainan ini bisa menangkap sinyal dalam radius hingga lima meter. Jadi kita tidak perlu berdekatan."

"Nah," sahutku puas. "Sekarang bibi harus berjalan melewati gang ini, terus saja, dan bibi harus melakukan apa saja yang kami katakana lewat walkie talkie ini. Bila tidak... yah bibi tahu sendiri kan tentang video kemarin."

Ibu Deni memandang kami geram. "Sudah lakukan saja sekarang! Semakin cepat semakin baik!"

"Oke oke," aku dan Boni tertawa. " Kami akan mengawasi dari belakang. Bibi dilarang menoleh ke belakang. Anggap saja kami tidak ada. Baiklah ayo kita mulai!"

Ibu Deni segera berjalan menuju ke arah gang sempit yang dikelilingi oleh pagar beton milik rumah warga. Aku dan Boni mengikuti dari belakang dengan hati-hati. "Oke, bibi silakan gulung kaos bibi sampai di atas pusar lalu ikat di samping," kataku melalui walkie talkie. Ibu Deni mengangguk tanda mengerti. Ia menggulung bagian bawah kaosnya ke atas. Setelah dirasa melewati pusarnya, ia mengikat gulungan kaosnya di samping kiri. Aku dan Boni bisa melihat punggung bawahnya yang mulus tak bercela dari belakang.

Dari arah berlawanan, terlihat dua bocah laki-laki sedang asik bermain kelereng di pinggiran jalan gang. Aku meraih walkie talkie. "Ada dua bocah di depan, bibi harus bisa merayu mereka untuk memegang perut bibi," kataku.

Ibu Deni memasukan kembali walkie talkie-nya ke dalam saku celana. Ia memandang kedua bocah itu dengan gugup. Ia berjalan perlahan-lahan mendekati kedua bocah yang asik melempar bola-bola kelerengnya. Setelah cukup dekat dengan kedua bocah tersebut, Ibu Deni menepuk pundak salah satu dari mereka. "Wah ada apa ya bi?" tanya salah satu bocah itu. Ia menjatuhkan kelerengnya karena terpana dengan penampakan di depannya. "Bibi seksi betul!" pujinya seraya menelan ludah.

"Jadi... ngg... begini..." kata Ibu Deni gugup. "Bibi mau minta tolong kalian berdua."

"Minta tolong apa bi?" tanya mereka serempak.

"Bisa tolong elus perut bibi?" pinta Ibu Deni sambil mengusap perutnya yang tak tertutup pakaian. Kedua bocah itu saling berpandangan dengan ragu. "Tentu saja bisa!" sahut mereka. Kedua tangan mereka mulai bergerak mengusap perut Ibu Deni yang terlihat kencang. Tubuh Ibu Deni menggigil geli. Ketika salah satu tangan bocah itu menyentuh pusarnya, ia spontan mendesah. "Aaaah..." erangnya.

Tangan-tangan kedua bocah itu semakin menggerilya; tidak hanya mengusap perut Ibu Deni, mereka juga memasukan tangan mereka di sela-sela celana pendek Ibu Deni. Aku bisa melihat salah satu tangan bocah itu masuk di antara belahan pantat Ibu Deni. Setelah dua puluh menit berselang, aku menyalakan walkie talkie dan menyuruhnya berhenti. "Sudah cukup," kata Ibu Deni terengah-engah. Ia membetulkan letak celananya yang sedikit turun akibat tingkah kedua bocah tersebut. "Bibi harus melanjutkan perjalanan lagi, kalian lanjutkan permainan kalian," katanya sembari beranjak pergi. Kedua bocah itu tampak tak puas. Mereka memandang Ibu Deni sambil bergumam tak jelas.

Aku dan Boni menyelinap di antara tumpukan kardus bekas sambil terus mengawasi Ibu Deni dari belakang. Jalan di gang ini cukup panjang dengan tembok beton yang tingginya hampir setinggi orang dewasa. Lagipula di ujung jalan ini agak tertutup oleh tikungan tajam sehingga hanya warga sekitar sini saja yang mengetahui jalan ini. Tempat yang cocok untuk mengadakan pameran berjalan.

"Sekarang, ayo turunkan bagian belakang celana bibi sampai di bawah pantat," perintahku. "Sempaknya juga?" ia sedikit ragu. "Jelas saja iya, turunkan sampai aku benar-benar bisa melihat pantat bibi," kataku. Ibu Deni melihat ke sekelilingnya. Suasana sangat sepi padahal ini menjelang sore. ia kemudian membuka resleting celana pendeknya lalu menurunkan bagian belakang celananya termasuk sempaknya. Setelah kedua bongkahan pantatnya benar-benar menyembul seutuhnya, ia mengancingkan kembali kancing celananya.

Baru saja ia mengancingkan celananya, tiba-tiba terdengar dentingan suara sendok yang dipukulkan ke mangkok. Teng teng teng! Suara dentingan itu semakin mendekat. Dari kejauhan muncul sebuah gerobak bakso yang mendekati Ibu Deni dengan kecepatan cukup tinggi. Rupanya sebuah gerobak bakso yang dilengkapi dengan sepeda. Ibu Deni reflek menaikan kembali celananya. "JANGAN!" teriakku dari walkie talkie. Ia mengurungkan niatnya dan tetap berdiri di tempatnya.

Gerobak bakso itu ternyata berhenti sekitar beberapa meter dari tempat Ibu Deni. Tukang bakso itu turun dari gerobaknya dan memasang payung besar yang dibentangkan di atas gerobaknya agar tidak kepanasan. Rupanya ia sedang menunggu pembeli.

"Sekarang bibi harus menggoda tukang bakso itu," kataku lagi. "Bibi cukup bilang ' mas pantatku gatal nih, minta tolong garukin dong'"

"Gila kalian," seru Ibu Deni kesal.

"Eits menghina kami? Berarti bibi harus menungging saat tukang bakso itu menggaruk pantat bibi. Bibi juga harus melebarkan belahan pantat bibi sampai anusnya kelihatan."

"Tapi..."

"Gak ada tapi. Cepat lakukan."

Aku menutup walkie talkie dan mengamati Ibu Deni. Ia terlihat sangat gelisah. Meski begitu, ia terus berjalan mendekati tukang bakso yang sedang mengelap mangkok-mangkoknya. "Mas..." sahut Ibu Deni malu-malu. "Mau beli baksonya mbak?" tanya si tukang bakso datar. Rupanya ia belum menyadari bagian belakang Ibu Deni. "Ah gini mas, aku mau minta tolong sama masnya," ujar Ibu Deni. "Wah minta tolong apa ya mbak?" tanya si tukang bakso bingung. Ibu Deni menarik napas dalam-dalam lalu berujar: "Bisa tolong garukin pantatku?"

Ibu Deni memutar tubuhnya dan menunggingkan pantatnya. Ia juga melebarkan belahan pantatnya dengan kedua tangannya sampai anusnya yang kecokelatan terlihat menganga. Tukang bakso itu begitu kagetnya dengan kelakuan Ibu Deni sampai-sampai ia nyaris terjatuh dari tempatnya berdiri.

"Ap...apa yang mbak lakukan?" ia memandang pantat Ibu Deni tanpa berkedip.

"Cepat mas garukin," kata Ibu Deni dengan wajah memerah.

Si tukang bakso tidak mau kehilangan kesempatan itu. Ia segera meraih bongkahan pantat Ibu Deni lalu meremasnya. Celakanya, saat tukang bakso itu berusaha meremas, celana Ibu Deni meluncur turun hingga ia benar-benar tidak memakai celana. "Kyaaaa!" teriak Ibu Deni sambil menutupi memeknya. Karena tangannya gantian menutupi memeknya, belahan pantat Ibu Deni menutup kembali. Tukang bakso itu menahan pantat Ibu Deni lalu membuka lebar-lebar lubang pantatnya sampai lebih lebar dari sebelumnya.

"Yang... yang mana yang gatal mbak?" tanya si tukang bakso penuh nafsu.

"Yang mana saja," jawab Ibu Deni sambil memejamkan matanya menahan malu.

Bukannya menggaruk, tukang bakso itu malah membenamkan jari telunjuknya ke dalam anus dan jari tengahnya ke memek Ibu Deni. Tubuh Ibu Deni mengejang kesakitan. Tukang bakso itu menggerakan jari jemarinya keluar masuk. Tangan lainnya ia gunakan untuk tetap memperlebar belahan pantat Ibu Deni. Tak lama kemudian, cairan bening mengalir dari memeknya dan turun perlahan-lahan di kedua kaki Ibu Deni. Ia mengejang lagi, lalu ia mendesah agak keras, "Ough..."

Tubuh Ibu Deni mulai melemah. Sepertinya ia sudah orgasme. Aku menyalakan tombol ON di walkie talkie dua kali tanda berhenti. Ibu Deni segera meraih tangan si tukang bakso. "Lepaskan," katanya. Tukang bakso itu menurut dan mencabut jari-jarinya dari dalam lubang pantat dan memek Ibu Deni.

"Lain kali ngentot yuk," kata si tukang bakso dengan penuh harap.

"Tidak. Terima kash," ujar Ibu Deni sambil mengenakan kembali celana pendeknya. Ia menyibak rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya yang tirus. Tukang bakso itu terus menatap Ibu Deni dengan kagum. "Berapa nomor teleponmu?" tukang bakso itu masih saja bertanya.

"Itu rahasia," jawab Ibu Deni. Ia mengambil beberapa lembar tisu yang berada di atas gerobak bakso lalu mengelap kedua kakinya yang jenjang agar tidak ada cairan yang menempel. Setelah dirasa beres, Ibu Deni meninggalkan si tukang bakso yang masih memandangi bokong Ibu Deni yang kini tertutupi celana.

Aku dan Boni hampir saja tertawa terbahak-bahak kalau saja aku tidak segera menyadarinya. Kami nyaris saja ketinggalan jauh dari Ibu Deni. Aku dan Boni langsung bergegas mengikuti sambil memasang wajah pura-pura tidak tahu saat melewati si tukang bakso yang masih tersenyum-senyum sendiri.

Akhirnya kami tiba di ujung jalan gang. Jalannya sekarang terasa lebih longgar dibandingkan sebelumnya, tetapi tetap saja sepi. Di ujung jalan ini adalah jalan raya, kami bisa mendengar suara kendaraan yang saling melintas.

"Astaga! Itu Deni!" kata Boni sambil menunjuk ke depan. Aku memicingkan mata. Benar. Deni tampak sedang berjalan kaki bersama ketiga temannya. Mereka sepertinya baru saja selesai bermain sepak bola, itu bisa dilihat dari pakaian mereka yang kotor oleh lumpur. Ibu Deni terpaku melihat anaknya. Untungnya Deni masih belum menyadari kehadiran ibunya.

"Ini tugas terakhir," kataku. Lalu aku mengatakan ke Ibu Deni lewat walkie talkie.

"Be... betulkah aku harus begitu..." suara Ibu Deni terdengar gemetar saat mendengar perintahku. Aku mengiyakan. "Tugas terakhir untuk hari ini. Tapi bukan yang benar-benar terakhir. Setelah ini bibi bisa beristirahat," kataku kalem.

Ibu Deni menaruh walkie takie-nya ke atas drum kosong di sampingnya. Lantas, ia melepas celana pendeknya sekaligus sempaknya lalu menaruhnya di atas drum itu juga. Kemudian ia menggulung kaosnya lebih tinggi lagi hingga melewati teteknya yang masih terbungkus beha berwarna ungu. Dengan sekali gerakan, ia melepas kait behanya dan kedua teteknya yang tadinya tertahan oleh beha kini jatuh menggantung di dadanya. Kedua putingnya sudah bulat sempurna seakan-akan siap dihisap.

Ia benar-benar hampir telanjang bulat. Pakaian yang menempel di tubuhnya cuma kaosnya yang tergulung sampai di atas teteknya, sementara tetek dan memeknya yang tanpa jembut terlihat polos tanpa penutup. Ibu Deni menarik napas panjang lagi dan melangkah maju mendekati anaknya.

"Wwwooowww... coba lihat ke depan," kata salah satu teman Deni sambil menganga tak percaya. Deni dan ketiga temannya langsung berhenti dan mengamati sesosok wanita setengah telanjang yang mendekati mereka.

"Loh ma... mama ngapain kok telanjang kayak gitu?!" seru Deni kaget saat menyadari bahwa wanita itu ternyata ibunya. Ibu Deni menundukkan kepalanya karena malu. "Mama mau menjemput kamu nak. Ayo kita pulang," kata Ibu Deni dengan suara nyaris terisak.

"Tapi... tapi pakaian mama..." kata Deni terbata-bata. Ketiga temannya menatap Ibu Deni dengan wajah mupeng. "Hehehe, bibi keterlaluan beraninya," kata mereka.

"Tidak ada tapi tapi, ayo pulang," kata Ibu Deni. "Oh ya, untuk teman-temannya Deni, bibi mau menunjukkan sesuatu sebagai tanda terimakasih karena sudah menjadi teman Deni selama ini."

Ibu Deni segera membalikan badan dan mengarahkan pantatnya ke arah Deni dan ketiga temannya lalu membuka lebar lubang pantatnya dengan menggunakan kedua tangannya. Deni dan ketiga temannya terpana melihatnya.
"Nah silakan dilihat sepuasnya," kata Ibu Deni sambil menangis.

"MAMA!" teriak Deni.

Melihat itu, aku dan Boni saling bersalaman dan tertawa cekikikan. Misi hari ini selesai dengan sangat sempurna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Seks: Bocah Nyusu Plus Ngentot Efni

Mama Gitu Dehh 1 - 5

Tukang Kebun yang Menggarap Memekku