Muslihat Kakek Dewo 13 - 16

Begitu mengetahui kedatangan ayahnya, Salamah segera berpaling ke Bayu; menyuruh pemuda itu agar lekas bersembunyi. Akan sangat berbahaya kalau mereka dipergoki berdua di tempat seperti ini, ditambah juga kondisi pakaian mereka yang sama-sama awut-awutan. Namun sebelum Salamah sempat berucap, Bayu sudah meloncat menghilang. Dengan ringan ia menyelinap ke balik sesemakan sambil membawa baju dan celananya yang berserakan. Sekarang tinggal Salamah yang duduk kebingungan, berusaha membenahi pakaiannya dengan cepat sebelum ayahnya tiba di situ. Beruntung, tepat saat Haji Tohir membelokkan langkahnya, Salamah sudah pura-pura duduk diam dengan baju tertata rapi. “Lho, Nduk... ngapain kamu disini?” tanya Haji Tohir kaget, tak menyangka akan menemukan Salamah di gubuk terpencil itu. “Ehm... Abah sendiri, ada apa kesini?” kilah Salamah. “Ah, Abah hanya jalan-jalan...” Haji Tohir menatap heran pada putrinya. “Ayo pulang, sudah sore. Nggak baik anak gadis sendirian di tempat seperti ini.” ajaknya. Salamah mengangguk dengan kikuk, berharap ayahnya tidak melihat lipatan kain celana dalam yang tadi tak sempat ia gunakan. Salamah kini mengantongi kain itu. “Iya, Bah.” Ia segera turun dan mengikuti ayahnya. Payudaranya yang tak berkutang terasa bergesekan geli saat ia berjalan, membuat Salamah bergetar ringan hingga Haji Tohir kembali bertanya. “Kamu nggak apa-apa?” tanya lelaki itu, curiga. “Ah, aku hanya kedinginan.” jawab Salamah lirih. Haji Tohir hanya mengangguk dan meneruskan langkahnya. “Kamu jangan suka pergi sendirian. Di kampung ini sekarang nggak aman, banyak perempuan yang tiba-tiba hamil tanpa diketahui siapa bapaknya,” “I-iya, Bah.” Salamah mengangguk muram. Tanpa membantah, ia ikuti Haji Tohir yang berjalan kembali ke rumah. Sekilas diliriknya tempat Bayu bersembunyi, kemanakah pemuda itu sekarang? batin Salamah dalam hati. Ia pasti akan merindukannya. Bisakah mereka bertemu kembali? Salamah sangat berharap. *** Selepas kepergian Salamah, Bayu balik lagi ke tempat dimana dia selama ini menghabiskan waktu: di sebuah gubuk tua di lereng tepi desa. Di sana dia memikirkan peristiwa yang barusan terjadi. Kegagalannya memetik kesucian Salamah sangat disyukuri sekaligus juga disesalinya sedikit. Namun yang paling merisaukan pikirannya adalah keberhasilan Dewo yang kembali sanggup melampiaskan nafsu bejatnya. Bayu merasa bersalah dengan hilangnya kesucian dua orang gadis yang disetubuhi oleh Dewo. Sambil berjalan menyusuri pematang, benaknya berpacu bagaimana dirinya bisa mengalahkan Dewo, sempat terbersit juga apakah Dewo sudah tahu dengan keberadaannya di desa ini. Laki-laki tua itu tampak lebih waspada sekarang, ditambah juga Dewo seperti meningkatkan daya sirepnya. Bayu harus berusaha lebih keras lagi untuk melawannya. Saat sedang berpikir seperti itu, Bayu melewati rerimbunan pohon. Matahari semakin condong ke barat, membuat burung-burung hitam kecil berarakan kembali ke sarangnya. Di kejauhan terdengar suara aliran air sungai yang mengalun deras, sementara di dekatnya, Bayu mendengar suara seorang wanita yang sedang mendesah-desah. Ah, apa-apaan ini! Apakah telinganya tidak salah dengar? Namun semakin didengarkan, Bayu semakin yakin bahwa ia tidak keliru. Rintihan itu adalah milik seorang wanita yang sedang keenakan menikmati hasrat birahinya. Melihat sekeliling, Bayu jadi curiga; jangan-jangan ini ulah si Dewo. Tidak mungkin orang normal mau ngentot di tempat terbuka seperti ini tanpa campur tangan pelet Dewo. Apalagi musuhnya itu kelihatan belum puas tadi, Bayu sudah keburu mengganggunya ketika Dewo ingin mencoba lubang pantat Mila dan Nurmah. Dengan langkah berjingkat, Bayu pun melangkah mencari arah sumber suara. Ia sedikit mengerahkan ilmunya untuk menjaga diri, siapa tahu ini jebakan yang dipasang oleh Dewo. Menatap waspada, Bayu mendatangi rerimbunan pohon yang terletak tak jauh di sebelah kirinya. Semak berduri yang menutupi sama sekali tidak menghalangi langkahnya. Ia terus menyelinap tanpa suara sampai berdiri sangat dekat dan dirinya langsung kaget begitu mengetahui kalau ternyata suara desahan itu berasal dari seorang perempuan yang memakai jubah, sedangkan jilbabnya terlepas dan menyangkut di leher seperti membentuk syal. Dan disana ada Dewo! Dugaan Bayu benar, ini semua memang ulah laki-laki tua itu. Jarak Dewo dengan wanita itu hanya tiga meter, korbannya kali ini tampak tengah meremas-remas bongkahan payudaranya dengan tangan kiri sambil mengobel memeknya dengan tangan kanan. Tubuh perempuan itu tampak pasrah dan lemas, bersandar di sebuah pohon besar. Dari pandangan matanya, terlihat sekali kalau ia sama sekali tidak menyadari kelakuannya yang salah. “Ehm... ahh...” perempuan itu mendesah menikmati masturbasinya, sementara Dewo terus memperhatikan sambil tersenyum menjijikkan. Bayu yang mengintai dari balik semak kembali menggeram marah, namun dia masih saja terus memperhatikan. Kali ini dia tidak ingin bertindak terburu-buru, jangan sampai Dewo dapat lolos lagi. Wanita korbannya kali ini tampak cantik dan montok, tipe kesukaan si Dewo. Seolah-olah tidak menyadari kedatangan Bayu, wanita itu terus melakukan remasan pada payudara dan kocokan dua jari di liang memeknya. Ia juga tetap mendesah-desah membayangkan sesuatu yang membuat gairahnya terangsang. Apakah ini salah satu pelet baru Dewo, yang sanggup mempengaruhi pikiran seseorang tanpa harus menyentuhnya? Kalau memang benar, berarti Bayu sudah salah perhitungan. Ilmu pelet Dewo ternyata beberapa tingkat di atasnya. Lelaki tua sama sekali tidak bisa diremehkan. Bayu harus banyak belajar lagi kalau ingin benar-benar bisa menandinginya. Wanita itu semakin liar, satu demi satu kancing jubahnya dilepaskan hingga tinggal dua buah saja yang tersisa. Dia kemudian mengeluarkan salah satu bulatan payudaranya yang berukuran besar dari cup bh-nya dan meremas-remasnya dengan sepenuh hati. Putingnya yang mungil dan berwarna merah kecoklatan juga tak lupa ia pilin dan pijit-pijit kuat. Bayu yang melihat kejadian itu hanya bisa diam dan bengong dari balik semak. Tanpa terasa batang kontolnya mulai mengeras. Melihat wanita berjubah dengan rambut terurai panjang sampai ke pantat dan jilbabnya yang kini berubah menjadi syal di leher, membuat Bayu membayangkan seandainya itu adalah Salamah yang tadi hampir bisa ia setubuhi namun gagal karena ayahnya datang. Akibatnya Bayu jadi tidak tahan. Dilihatnya Dewo hanya diam di depan sana, seperti tidak berniat untuk memegang apalagi merusak kehormatan wanita itu. Mungkin tidak ada salahnya kalau Bayu sedikit menahan diri, toh melawan Dewo sekarang juga percuma. Dengan kondisi terangsang seperti ini, Bayu tidak akan bisa berkonsentrasi. Sementara Dewo tampak berkuasa dengan memancarkan hawa jahat untuk memikat korbannya. Maka Bayu kemudian membuka celananya dan bermaksud untuk coli agar nafsunya sedikit tersalurkan. Mungkin dengan begitu ia jadi bisa berpikir jernih. Dilihatnya perempuan itu semakin tinggi mengangkat kain jubahnya, seperti ingin memperlihatkan seluruh pantat dan belahan memeknya pada Dewo. Dengan mengangkangkan kakinya lebar-lebar, ia mendesah, "Ayo buka celananya, Pak Dewo... saya pingin lihat kontol bapak." Dewo hanya tersenyum menyeringai dan tetap berdiri diam. Sepertinya ia memang berniat untuk tidak menyentuh perempuan itu. Merasa aman, sambil mulai mengocok batang kontolnya, Bayu memperhatikan bagaimana bagusnya tubuh perempuan itu. Teteknya yang besar terlihat begitu putih dan membulat kencang, pentilnya berwarna coklat kemerahan dan agak panjang, mungkin karena sering dihisap. Lalu selangkangannya, terlihat hitam karena bulu-bulunya yang lebat, tapi bibir memeknya membelah panjang berwarna merah muda; membuka dan menutup perlahan seiring kocokan tangan perempuan itu, memperlihatkan kedalaman lubangnya yang nampak basah dan berkilatan oleh air lendir. Yang paling mengagumkan adalah itilnya yang begitu besar, hampir sebesar puting susunya. Kepala itil itu tampak merah muda, menyembul separuh dari kulit yang menutupinya, seperti kontol kecil yang tidak disunat. Sungguh luar biasa, belum pernah Bayu melihat itil sebesar itu. Milik Salamah yang meski sangat indah, jadi tidak ada apa-apanya. Tangan perempuan itu terus mengusap-usap bagian luar memeknya, sambil sesekali jari telunjuknya masuk perlahan-lahan ke dalam lubangnya yang sudah merekah indah. Ia menggerakkannya keluar-masuk seperti kontol yang tengah menusuk memek. Sementara tangan yang satu lagi memegangi itilnya diantara telunjuk dan ibu jari dan memilin-milinnya cepat hingga jadi semakin besar. Bayu pun tidak mau kalah. Dengan nafsu semakin berkobar, ia mulai mengusap-usap kepala kontolnya yang 14 cm, kemudian menggenggam batangnya dan mulai mengocoknya cepat sambil terus memperhatikan perempuan itu. “Ahh... ahhh.... ugh...!!” perempuan itu mulai mendesah-desah dan memeknya pun mulai menimbulkan suara berdecak-decak karena basah, tampak cairan kental yang berwarna putih susu mengalir sedikit membasahi selangkangannya. Bayu onani sambil terus memperhatikannya. Sungguh tidak pernah ia sangka akan berbuat begini dengan salah satu korban Dewo, bahkan dengan Dewo berdiri hanya beberapa langkah di depan sana. Kalau gurunya sampai tahu, Bayu pasti akan sangat dimurkai! Namun Bayu juga tidak bisa memungkiri rasanya yang begitu nikmat. “Auw!” perempuan itu menjerit dan mencabut jarinya, tangannya kini meremas-remas kedua teteknya dengan keras manakala sebuah semburan memancar deras dari liang memeknya. Rupanya ia sudah memperoleh orgasme pertamanya. Dengan tubuh terkejang-kejang, ia mengerang dan menggoyang-goyangkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan. Hanya dengan sedikit menggesek kembali tonjolan itilnya, tidak lama perempuan itu kembali mengeluarkan lenguhan keras dan memeknya pun kembali berdenyut-denyut cepat. Orgasme kedua berhasil ia raih hanya dengan selisih beberapa detik, kali ini dengan disertai cairan putih susu yang memancar agak banyak. Dan rupanya orgasme ketiga dan keempatnya juga turut mengalir. Perempuan itu seperti hampir menangis ketika merasakan sensasinya yang sungguh sangat nikmat. Perempuan itu tergolek dengan lemas seperti balon yang kekurangan angin. Air cintanya tampak berceceran di paha dan rerumputan di depannya. Bayu terus memperhatikan sambil mengocok-ngocok terus batang kontolnya yang sudah terasa begitu keras dan tegang. Ia membayangkan wanita itu adalah Salamah. Akan ia puaskan anak Haji Tohir itu dengan kejantanan kontolnya. Akan dibuatnya Salamah bertekuk lutut dan terus menghiba untuk tetap disetubuhi. Bayu rasanya tak sabar ingin segera merasakan kembali kehangatan tubuh gadis itu. Pikirannya yang bercabang membuat Bayu jadi lengah, dan itu adalah sebuah kesalahan fatal. Di saat hampir mencapai orgasme, ia jadi tidak waspada terhadap bahaya yang mungkin bisa menimpa dirinya karena pikiran Bayu fokus untuk segera ejakulasi. ..”Ahhh... ahhh... ayo, Salamah, aku hampir sampai...” Bayu bergumam sendiri sambil terus mengocok batang kontolnya. Dibayangkannya Salamah sedang mengoralnya saat itu. Dia tidak sanggup lagi untuk bertahan karena kocokannya yang begitu nikmat, dan begitu spermanya mulai menyembur keluar... Saat itulah tiba-tiba sebuah benda keras menghantam kepalanya. Bukkkk!!! Hanya suara itu yang terdengar, kemudian Bayu sudah tergeletak pingsan dengan tangan masih memegang kontolnya dan cairan pejuh yang masih meleleh keluar seolah-olah tidak mau berhenti menyemprot. “Heheheheh... mampus kamu!!!” Dewo terkekeh sambil memegang batangan kayu yang telah ia gunakan untuk memukul Bayu sampai pingsan. “Makanya jangan usil sama orang tua, kau bocah... hahahahah,” tawa Dewo dengan senyum penuh kemenangan. Dengan kejam, Dewo kemudian memukul sekali lagi kepala Bayu untuk memastikan pemuda itu pingsan beneran. Setelah dirasa cukup, Dewo dengan berbisik memanggil nama seseorang, “Nyai... Nyai Siti... kemarilah! Sudah pingsan ini bocah sok jagonya,” panggil Dewo dengan suara serak Nyai Siti yang dipanggil kemudian bergegas ke semak dimana Dewo dan Bayu yang pingsan berada. Tersungging senyuman di bibirnya! Ternyata Dewo menggunakan Nyai Siti untuk mengalahkan Bayu. Dewo sebenarnya tahu dirinya dikuntit oleh Bayu saat memperawani Mila dan Nurmah, dan kemudian memanfaatkan situasi untuk meminta bantuan Nyai Siti saat Bayu sedang berduaan dengan Salamah. Malam mulai turun di kampung itu. Langit perlahan menghitam dan denyar kekuningan yang tadi masih nampak di sebelah barat, kini sudah berubah menjadi kelabu. Rerimbunan di tengah persawahan berangsur-angsur hening, hanya suara jangkrik dan hewan malam yang ganti memecah kesunyian tersebut. “Tuan Dewo, mana imbalan yang tadi kamu katakan padaku jika rencana ini berhasil?” tanya Nyai Siti menagih janji. Dewo dengan senyum tersungging kemudian menjawab, “Iya, lonteku, pasti aku kasih... tapi tolong bantu aku mengikat tangan bocah ini ke belakang, dan kakinya juga,” Tanpa pikir panjang lagi, Nyai Siti segera membantu Dewo mengikat Bayu dengan tali yang sudah mereka siapkan dari rumah. Nyai Siti yang melihat kontol Bayu hanya berkata, “Ihh... kontol segini kecilnya mau main-main..!!” bisiknya sambil memasukkan kontol itu ke balik celana. Nyai Siti sempat nakal juga, saat memegang kontol Bayu, sempat ia mengurutnya sehingga peju Bayu menetes di tangan dan kemudian dijilatinya rakus. “Lebih gurih punya Tuan Dewo,” ujarnya manja, dan Dewo hanya tertawa menanggapi. Setelah beres mengikat Bayu hingga jadi tidak bisa bergerak, Nyai Siti kemudian mendekati Dewo. Dengan jubah masih awut-awutan dan jilbab tetap melingkar di leher, Nyai Siti mulai melepas celana Dewo. “Tunggu, Nyai..!!” sela Dewo. “kamu rapikan jubah sama jilbabmu, serta rambutmu yang terurai itu... aku nggak mau ngentotin kamu kalau kamu tidak rapi,” pintanya tak ingin dibantah. Nyai Siti pun tanpa diperintah dua kali langsung merapikan jubahnya. Kancingnya ia pasang kembali setelah terlebih dahulu memasukkan dua bulatan payudaranya ke balik bh. Perempuan itu juga menggelung rambutnya dan merapikan jilbabnya yang sudah lecek. Dengan cepat penampilannya kembali sebagai istri Kyai Kholil yang sangat disegani di seluruh kampung. “Heheheh... gitu kan cantik kamu, lonteku,” puji Dewo. Nyai Siti hanya tersenyum dan tanpa disuruh kemudian menyingkap kaos Dewo ke atas dan mulai mencium serta menghisap puting lelaki tua itu. Dewo hanya berdiri diam sambil sesekali meremasi payudara empuk Nyai Siti. Dengan sambil berdiri, Nyai Siti melakukan foreplay terhadap si Dewo. Kepekatan malam dan nyanyian jangkrik serta suara hewan seolah menjadi saksi kebejatan dua insan itu. Puas dengan ciuman di dada, Nyai Siti kemudian turun menjilati perut buncit Dewo dan berhenti di pusarnya. Di sana ia bermain-main dengan menjilati pusar Dewo sambil tangannya memelorotkan celana kolor yang Dewo pakai dan mulai meremas-remas serta mengocok-ngocok kontol lelaki keriput itu. Perlakuannya membuat gairah Dewo mulai meningkat. Di otak cabulnya langsung terbersit ide untuk melakukan persetubuhan liar dan sangat kotor dengan Nyai Siti. Dewo seperti ingin melampiaskan nafsunya yang tadi sempat terputus dengan Mila dan Nurmah. “Ehmph...” Ciuman Nyai Siti turun ke selangkangan Dewo dan terus sampai ke batang kontolnya. Nyai Siti sangat meresapi kontol Dewo saat menjilati maupun mengulumnya, dan bahkan berkali-kali lidahnya menggelitik lubang kencing Dewo. “Ugh... Nyai,” Diperlakukan seperti itu, Dewo hanya mampu memegang kepala Nyai Siti yang terbungkus jilbab merah dan kemudian menggerakkannya maju-mundur. Ia mendorong batang kontolnya keras-keras sampai menyentuh rongga kerongkongan Nyai Siti yang sudah terbiasa dimasuki kontol panjang Dewo. “Nyai, malam ini aku akan memberikanmu hadiah yang nggak mungkin kamu lupakan... heheheh,” kata Dewo sambil memaju-mundurkan kontolnya di mulut manis Nyai Siti. Nyai Siti hanya mendongak ke atas sambil mengedipkan kedua matanya tanda setuju, karena mulutnya masih tersumpal kontol Dewo. “Nyai, aku ingin kamu menjadi liar malam ini di balik rimbunnya semak ini,” kata Dewo lagi. Dia kemudian menghentikan aktivitasnya mengentot mulut Nyai Siti dan berktaa, “Sebentar, Nyai... aku akan mencari beberapa daun pisang untuk alas kita,” Nyai Siti mengangguk sambil berkata, ”Baik, cintaku, tuanku, suamiku.” Dewo bergegas pergi ke arah sungai untuk mencari daun pisang yang tumbuh di sekelilingnya dengan tidak memakai celana. Dibiarkan kontolnya yang panjang bergelantungan seperti pentungan pos ronda. Biar saja kalau ada yang melihat; kalau laki-laki, toh tidak akan bisa melawan ilmunya. Sedangkan kalau perempuan, akan ikut ia ajak main bersama Nyai Siti, itu malah asyik. Tak berapa lama, Dewo sudah kembali dengan membawa delapan helai daun pisang. Pelan ia menatanya di tanah untuk dijadikan alas. Kini mereka sudah memiliki tempat ideal untuk melampiaskan hasrat bercinta yang brutal, liar, dan kotor. Dewo yang berdiri kemudian meraih dagu lancip Nyai Siti dan berkata, ”Nyai, kamu memang budak dan gundikku yang cantik dan setia.” Nyai Siti tersipu malu mendengar pujian Dewo. Dan sambil mendongak ke arah laki-laki itu yang masih berdiri, ia juga berkata. ”Aku akan selamanya menjadi budak, gundik atau lontemu, Tuan Dewo. Apapun yang kamu inginkan dari tubuhku akan kuberi. Apapun yang kamu suruh dan perintahkan akan kulakukan, karena di depanku dirimu adalah seorang laki laki perkasa. Semua bagian tubuhmu, aku sangat menyukainya, Tuan Dewo,” desah Nyai Siti. “Lanjutkan omonganmu yang romantis itu, Nyai, supaya aku bisa lebih liar, brutal, dan kotor saat memakai tubuhmu,“ kata Dewo. Sambil tetap mendongak ke atas memandang Dewo yang memegang dagunya, Nyai Siti berkata, ”Tuan Dewo bisa memakai tubuhku kapan saja, dimana saja, saat Tuan mau. Akan kulayani dirimu lebih dari suamiku yang letoy itu, Tuan. Aku ingin mulut, anus, dan vaginaku engkau pakai untuk apapun, Tuan. Semua bagian tubuhmu sangat menggodaku, Tuan, dan aku ingin bisa memilikinya tanpa terlewatkan sedikitpun. Jika boleh dan Tuan mengijinkan, Tuan bisa menggunakan mulutku saat kencing, memakai lidahku saat Tuan selesai beol, bahkan aku ingin tanganku bisa menjadi penampung bagi kotoranmu, Tuan,” kata Nyai Siti. Mendengar apa yang diucapkan oleh Nyai Siti, terbakarlah gairah Dewo dan segera ingin membuktikan kata-kata itu. Maka Dewo kemudian meminta Nyai Siti untuk mengoral kontolnya. Dengan patuh Nyai Siti melakukannya. Dia mengulum, menghisap dan mengocok-ngocok kontol Dewo dengan gemas, seperti wanita yang baru pertama melihat kejantanan milik pasangannya. Siapa pun pasti tak akan menyangka wanita yang dalam keseharian selalu tampil dengan busana muslim yang rapat dan menjadi guru mengaji ibu-ibu di kampung ini, ternyata juga lihai dalam urusan kulum-mengulum penis. “Ehm... yah, teruskan, Lonteku!” Sambil menikmati kocokan dan kuluman pada batang kontolnya, Dewo meremasi tetek Nyai Siti yang menggantung indah. Bongkahan payudara itu terasa sangat lembut dan enak saat diremas. Bahkan puting-putingnya langsung mengeras setelah beberapa kali Dewo memerah dan memilin-milinnya. Dewo ternyata mengentot mulut Nyai Siti dengan sangat brutal, ia menusuk begitu kuat dan dalam, bahkan sampai mentok ke tenggorokan perempuan cantik itu “Uekkkhhh...!!!” Nyai Siti tersedak oleh kontol panjang Dewo. Tapi Dewo terus melakukannya kembali sampai empat kali, sebelum kemudian dengan kasar mendorong Nyai Siti dengan kakinya tepat di dada sampai perempuan itu jatuh terlentang. Seperti tidak sabar Dewo menyobek celana dalam Nyai Siti dan menyumpalkannya ke mulut si guru ngaji. “Ahmoph...” Nyai Siti tergagap kaget, namun tidak memprotes. Malah ia mengangkang untuk membuka kedua pahanya lebar-lebar, memamerkan liang memeknya yang berbulu sangat lebat pada Dewo. Benda itu tampak lebar dan membukit. Jembutnya sangat lebat dan hitam pekat, kontras dengan paha Nyai Siti yang kuning langsat. Puas memandangi bagian paling merangsang di selangkangan wanita itu, keinginan Dewo untuk menyentuh Nyai Siti menjadi tak tertahankan. Ia julurkan lidah sejenak untuk membasahinya. Dewo mengusap-usap jembut Nyai Siti yang keriting dan tumbuh panjang sambil terus menyusupkan lidahnya ke dalam hingga menimbulkan bunyi kemerisik. Untuk bisa melihat lubang vaginanya, ia harus menyibak rambut-rambut yang menutupi memek Nyai Siti dengan kedua tangannya. Bibir luar benda itu tampak tebal dan kasar karena sudah sering dipakai oleh Dewo. Bagian dalamnya berwarna coklat kemerahan, ada lipatan-lipatan daging agak berlendir dan sebuah tonjolan itil sebesar jari kelingking. Dewo segera menjentik-jentik itil itu dengan jari telunjuknya sebelum kemudian menggigitnya rakus. “Aghmph...” Nyai Siti langsung mendesah dan sedikit menggelinjang. Dewo sangat senang karena Nyai Siti menyukai dan keenakan oleh jilatan lidahnya. Dari liang sanggama perempuan itu mulai keluar lendir yang terasa asin. Dewo terus mencucup dan menghisapnya hingga lendir itu banyak yang tertelan masuk ke kerongkongannya. Diperlakukan seperti itu membuat Nyai Siti seperti kesetanan. Tubuhnya bergetar hebat dan ia semakin merintih sambil meremasi sendiri kedua tetek besarnya. Disaat Nyai Siti masih mendesis kegelian, Dewo dengan brutal kemudian memasukkan kontolnya ke vagina perempuan cantik itu. “Oughhh... oughhh...” hanya rintihan suara itu yang terdengar pelan dari mulut Nyai Siti karena teredam oleh celana dalamnya. Tangan istri Kyai Kholil itu mengalung di leher Dewo dengan erat dan kuat, matanya membeliak-beliak sambil meremasi sendiri kedua teteknya. Melihat itu, Dewo langsung mengulum dan menghisapi puting Nyai Siti. Pentil susunya yang berwarna coklat kemerahan terasa mengeras saat ia hisap kuat-kuat. Makin lama menyodok dan mengaduk-aduk, Dewo merasakan lubang memek Nyai Siti menjadi semakin basah. Rupanya semakin banyak lendir yang keluar. Bunyinya cepok… cepok… cepok… setiap kali batang kontol Dewo menusuk masuk. Sampai akhirnya tubuh Nyai Siti mengejang saat mendapatkan orgasmenya, namun Dewo masih terus menggenjot kuat. Kontolnya ia tekan hingga bibir memek Nyai Siti yang berkerut-kerut seperti ikut melesak masuk. Namun saat ditarik, seluruh bagian dalamnya seakan ikut keluar, termasuk jengger ayamnya yang menggelambir. Pemandangan itu membuat Dewo kian terangsang dan kian bersemangat untuk memompa. Apalagi tetek besar Nyai Siti juga ikut terguncang-guncang mengikuti hentakan yang ia lakukan. Dewo makin bernafsu dan makin mempercepat irama kocokannya. Nyai Siti tak dapat menyembunyikan kenikmatan yang ia rasakan. Perempuan itu merintih dan mendesah dengan mata membeliak-beliak menahan nikmat. Sesekali ia remasi sendiri susunya sambil mengerang-erang. Dan kembali istri Kyai Kholil itu orgasme, tubuh moleknya terkejang-kejang dengan cairan memek memancar deras. “Aghh...” Dewo juga memperoleh kenikmatan yang sangat sulit untuk dilukiskan. Meski lubang memek Nyai Siti semakin terasa longgar, tetapi tetap memberi kenikmatan tersendiri hingga pertahanannya nyaris jebol. Dewo segera menghentikan genjotannya. Dengan tubuh masih menindih Nyai Siti dan kontol tetap menancap di liang memeknya, Dewo mendekatkan wajah ke muka Nyai Siti dan mengambil celana dalam yang menyumpal di mulut perempuan cantik itu. Celana itu terasa sangat basah karena air liur Nyai Siti yang terserap ke serat kain, sehinga kerongkongan Nyai Siti jadi sangat kering sekali. “Kasihan kamu, lonteku. Kamu pasti kehausan ya?” tanya Dewo. “buka mulutmu, Nyai,” Saat Nyai Siti membuka mulutnya, Dewo segera meludahkan air lurnya beberapa kali ke dalam mulut Nyai Siti. Dengan rakus Nyai Siti langsung mengecap dan menelannya karena sangat haus, dan menimbulkan sensasi luar biasa saat dirinya menelan ludah Dewo. Kedua kaki Nyai Siti yang panjang langsung membelit pinggang Dewo dan menekannya kuat-kuat. Selanjutnya ia membuat gerakan memutar pada pinggul dan pantatnya. Memutar dan seperti mengayak. Akibatnya batang kontol Dewo yang berada di kedalaman lubang vaginanya serasa diperah. Kenikmatan yang Dewo rasakan kian memuncak. Terlebih ketika dinding- dinding vagina Nyai Siti tak hanya Memerah, tetapi juga mengempot dan menghisap. Kenikmatan yang diberikan oleh perempuan itu benar-benar makin tak tertahankan. ”Aaahh... ssshh… enak banget. Aku nggak kuat... enak banget...!!” Dewo merintih, dan... Plupp...!!! Suara kontolnya saat terlepas dari memek Nyai Siti. Dewo kemudian berdiri dan membiarkan Nyai Siti telentang di atas daun pisang untuk beristirahat. Dewo tidak ingin keluar dengan begitu cepat. Ia kemudian melepas kaosnya dan kemudian merobeknya. Penuh nafsu Dewo memandangi Nyai Siti yang masih telentang dengan jilbab dan jubah yang sudah terangkat hingga ke pinggang serta kancing jubah atas yang terbuka seluruhnya hingga kedua bulatan payudaranya mengintip keluar. Dengan sensasi ini Dewo kemudian mendekati Nyai Siti dan membuatnya tengkurap. Dewo kemudian mengikat tangan Nyai Siti ke belakang dengan menggunakan sobekan kaosnya, dan membalikkannya telentang. Selanjutnya Dewo menduduki dada Nyai Siti dan mengangkat kepalanya agar menyepong lagi batang kontolnya. Kali ini Dewo tidak melakukannya dengan brutal, karena dia menginginkan air liur Nyai Siti untuk membasahi kontolnya. Setelah dirasa cukup, Dewo menarik kontolnya dari mulut Nyai Siti dan kemudian menyumpal lagi mulut perempuan itu dengan celana dalamnya. Berikutnya dengan kasar Dewo menunggingkan pinggul Nyai Siti dan mengangkat jubahnya sampai ke perut dan tanpa ampun langsung menyodomi anus istri Kyai itu. Malam itu Dewo seperti ingin melampiaskan semua hasratnya yang tertahan cukup lama pada Nyai Siti. Aksi yang dilakukannya sampai hampir satu jam membuat Nyai Siti orgasme beberapa kali dan membuat anusnya lecet sampai mengeluarkan bercak darah. Perempuan itu sudah terlihat hampir pingsan, namun Dewo senang sekali bisa memperlakukan Nyai Siti dengan brutal, kasar, dan kotor. Nyai Siti sendiri sangat heran dengan Dewo malam ini, karena sudah mengentot anus, mulut, dan memeknya, tapi belum keluar setetes pejuh pun dari kontol lelaki tua itu. Dewo benar-benar kuat malam ini. Meski kepayahan, tapi tak urung Nyai Siti tersenyum juga menikmatinya. “Nyai, istirahatlah beberapa menit karena aku akan memberikan sensasi baru untukmu,” kata Dewo. “Aku sangat puas dan senang sekali, Tuan mau memaki anus, mulut, dan memekku. Walaupun aku lelah, aku sangat ingin melayani apa yang Tuan inginkan,” jawab Nyai Siti, terengah. Mendengar ucapan Nyai Siti yang seolah masih mampu itu, Dewo kemudian meminta Nyai Siti untuk menjilati kaki-kakinya; mulai dari telapak sampai ke paha dan batang kontolnya. Nyai Siti pun dengan patuh melakukannya. Sensasi itu membuat kontol Dewo semakin menegang panjang. Birahinya kembali naik. Segera dimintanya Nyai Siti untuk rebah telentang. Dewo kemudian merobek sisa baju yang dikenakan Nyai Siti dan menempatkan batang kontolnya diantara payudara perempuan cantik itu. Nyai Siti yang mengerti segera menjepit kontol panjang Dewo dengan bulatan payudaranya, ia tekan dua gunung kembar yang sangat besar itu memakai kedua tangannya. “Ehm... aku suka susumu, Nyai.” rintih Dewo yang mendapat pijatan nikmat. Ia menikmati aksi Nyai Siti sambil membayangkan Salamah, apakah payudara gadis itu juga akan seenak ini saat dipakai nanti? Hmm, mudah-mudahan saja. Goyangan tetek Nyai Siti semakin kencang. Dan puncaknya, ia menjepit kontol panjang Dewo sambil mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Dewo mengejang saat kedutan pada batang penisnya kian terasa. Sampai akhirnya, “....ini, Nyai, madunya keluar...!!!” Dia menjerit begitu cairan pejuhnya muncrat membasahi muka Nyai Siti. Nyai Siti langsung membuka mulutnya untuk menerima semburan pejuh Dewo yang sangat banyak sekali. Setelah dikulum dan ditampungnya beberapa saat, cairan kental itu kemudian langsung ia telan semuanya. Selanjutnya Nyai Siti membersihkan kontol Dewo dengan menjilat-jilatnya gemas. Benar-benar di luar dugaan, mereka bercinta di alam bebas dengan diiringi kesunyian malam selama hampir tiga jam. Sementara itu Bayu masih belum sadar karena lukanya juga lumayan parah, kepalanya tampak berdarah. Dewo kini berniat untuk membuktikan kata-kata Nyai Siti. “Nyai, ayo ikut aku sebentar,“ kata Dewo sambil menggandeng tangan Nyai Siti menjauh dari hamparan daun pisang. “Aku mau beol nih...!” Dewo kemudian berjongkok, “mana mulutmu buat nampung air kencingku?” tagihnya. Nyai Siti segera tengkurap ke tanah dengan muka menghadap selangkangan Dewo. Rakus ia mengulum kembali kontol panjang Dewo yang mulai mengalirkan air seni secara perlahan-lahan. Nyai Siti langsung meminum dan meneguk semuanya. Dan sementara Dewo beol mengeluarkan kotorannya, Nyai Siti tetap setia mengulum dan menjilati kontol laki-laki itu yang sesekali mengeluarkan kencing saat mengejan. Selesai beol, Dewo kemudian meminta Nyai Siti untuk telentang beralaskan daun pisang. Ia lalu memposisikan anusnya di mulut Nyai Siti. Nyai Siti yang tahu keinginan Dewo segera melakukan tugasnya menjilati anus Dewo yang barusan beol sampai bersih. Setelah dirasa cukup, Dewo kemudian memakai celana kolornya kembali. “Nyai, mari kita pulang... dan bocah ini kita bawa ke rumah, akan aku jadikan pelayanku,” kata Dewo puas. “Baik, Paman Dewo.” Nyai Siti buru-buru membenahi jubah dan jilbabnya, sedang bh dan cd-nya tidak bisa dipakai lagi karena disobek oleh Dewo. Dewo dengan bertelanjang dada kemudian memanggul tubuh Bayu untuk dibawa ke rumah Kyai Kholil.
============================================================================
============================================================================
============================================================================
rmlink a { background: none repeat scroll 0 0 #E37F52; border-radius: 4px; color: #FFFFFF !important; font-size: 10pt; font-weight: 700; line-height: 1; padding: 1px 3px 1px; text-transform: uppercase; }
Cerita Buat Coli

Thursday, 12 February 2015
Muslihat Kakek Dewo 14



Melalui telepon genggamnya, Rohmah berpesan kepada Adinda, teman sekolahnya yang tadi janjian mau mengerjakan PR bersama. “Maaf, ya Din. Aku masih sibuk di Masjid. Ada anak-anak kecil yang harus kuajari mengaji. Tapi kayaknya sebentar lagi udah beres kok.”

“Jadi aku bagaimana dong?” tanya Adinda.

“Tunggu di situ saja. Sekitar dua puluh menit lagi aku sudah sampai rumah kok. Atau, mau ditunda besok saja?” tawar Rohmah.

“Aku ingin makalah ini cepat selesai... ya udah deh, biar kutunggu di sini saja.” kata Adinda pasrah.

“Maaf ya, Din. Kalau mau apa-apa, ambil saja sendiri. Atau, tanya saja sama mbak Wiwik,”

“Nggak ada. Cuma ada ibumu di sini.”

“Ya udah, minta saja sama ibuku. Pokoknya anggap saja rumah sendiri, Din.”

Adinda mengangguk dan segera mematikan hapenya. Gadis manis bertubuh sekal, mungil dan berdada kencang itu terpaksa harus menunggu. Satu jam lewat dia duduk di teras, sampai akhirnya pindah ke ruang tamu untuk membaca majalah yang ada di bawah meja. Namun Rohmah masih belum pulang juga. Mula-mula memang ia ditemani oleh Nyai Siti, tapi lama-lama obrolan mereka jadi nggak nyambung dan menjenuhkan sehingga Adinda mengganti kesibukannya dengan membaca majalah.

Nyai Siti tampak lebih tertarik dengan ‘sesuatu’ yang ada di dalam kamarnya, karena beberapa kali perempuan itu bolak-balik ke dalam dan lama tak kunjung keluar. Adinda sendiri tak keberatan ketika Nyai Siti akhirnya tak menemuinya lagi. Adinda merasa lebih tenang memandangi gambar-gambar cantik dan bentuk tubuh yang indah di majalah, ketimbang ngobrol dengan Nyai Siti yang seperti menyimpan sebuah misteri.

20 menit lagi berlalu, dan Rohmah tetap belum pulang. “Kalau ada mbak Wiwik enak nih, bisa jadi penghiburku. Biar usia kami terpaut 2 tahun, tapi mbak Wiwik senang bercanda, dia kocak dan supel.” pikir Adinda sambil membolak-balikkan majalah. Dia merasa tengkuknya dingin, tapi tak begitu dihiraukan Hanya diusap saja sambil lalu. Arlojinya dilirik, jarum jam menunjukkan pukul 20.14, masih belum larut malam.

Tapi Adinda lupa bahwa malam itu adalah malam Jumat Wage. Menurut kepercayaan orang Jawa, malam Jumat Wage punya kekuatan mistis tersendiri, hampir menyamai malam Jumat Kliwon. Maka wajarlah kalau malam itu hembusan angin terasa aneh. Seperti meninggalkan kelembaban tipis di kulit tubuh manusia. Wajar juga jika malam itu ada aroma aneh yang tercium di hidung Adinda. Aroma wangi aneh itu menyerupai keharuman dupa atau kemenyan. Tapi sebenarnya jauh lebih wangi dari asap dupa dan kemenyan .

“Bau apaan sih ini, wanginya aneh sekali?!” gumam hati Adinda sambil tengok kanan-kiri. Ada kecemasan yang mulai mengusik hati gadis itu. Ada rasa penasaran juga yang mendesak hati Adinda untuk mencari tahu, wewangian apa yang saat itu tercium olehnya.

Makin lama hembusan angin makin kencang. Tubuh Adinda mulai merasakan dinginnya malam, karena malam itu dia hanya mengenakan blus longgar lengan panjang dengan rangkapan jilbab dari bahan satin tipis. Celananya yang juga longgar, dari bahan sejenis beludru yang lentur, tak mampu menutupi bentuk tubuhnya yang meliuk-liuk indah.

Pintu kamar terkuak dan keluarlah Nyai Siti dengan badan penuh peluh dan wajah masih merah padam. Perempuan cantik berkebaya coklat itu clingak-clinguk dengan dahi berkerut. “Siapa sih yang bakar menyan sore-sore begini?!” gumamnya seperti bicara pada diri sendiri.

“Menyan?! Jadi bau harum ini dari asap bakaran menyan ya, Nyai?” tanya Adinda curiga.

“Iya, ini bau asap kemenyan.” Nyai Siti mengangguk memastikan. Kalau saja kebayanya tidak berwarna gelap, Adinda pasti bisa melihat dengan jelas ceceran sperma yang menempel di bokongnya.

“Kemenyan itu bukannya yang dipakai untuk memanggil jin atau...” Adinda tidak berani meneruskan kata-katanya.

“Tidak apa-apa, mungkin ini hanya ulah orang iseng.” Nyai Siti bergegas menjauh ke kamar mandi.

Sementara di ruang tamu, Adinda tak meneruskan membaca majalah karena melihat kedatangan seorang tamu. Karena pada waktu itu Nyai Siti masih berada di kamar mandi, maka Adinda lah yang menyambut kedatangan tamu tersebut. Dalam hati kecil Adinda sempat merasa heran, seiring kedatangan tamu itu, bau kemenyan terhirup semakin tajam. Adinda semakin berdebar-debar memandangi langkah sang tamu yang mendekati teras. Keadaan sang tamu menimbulkan keheranan dan perasaan bingung bagi Adinda.

Tamu itu adalah seorang kakek berusia lebih dari 60 tahun. Rambutnya putih kusam, agak awut-awutan, jenggotnya belang, tak terurus seperti rambutnya. Kakek yang masih tampak tegap itu memandang Adinda dengan matanya yang cekung menyeramkan, sementara di tangannya tergenggam tongkat hitam sebagai penopang langkahnya.

Pada saat Adinda ditatap dengan dingin, sekujur tubuhnya jadi merinding. Namun anehnya ia tak mampu pergi dari ruang tamu itu, seakan kakinya tertanam ke dalam tanah. Sampai akhirnya kakek yang rambutnya acak-acakan itu menginjakkan kakinya di lantai rumah juga. Kaki kurus itu menggunakan alas kaki dari bahan karet murahan. Pakaiannya yang gombrong menyerupai rompi berwarna abu-abu, terlihat melambai-lambai karena ditiup angin. Adinda mencium bau kemenyan lebih tajam setelah kakek misterius itu berada dalam jarak sekitar 3 meter dari tempatnya berdiri.

Adinda memaksakan diri agar tetap tenang, walaupun yang terjadi adalah kegugupan samar- samar dengan kaki dan tangan gemetar. “Hmm, ehh, mmm... mari, silakan duduk. Kakek mencari siapa?” tanya Adinda bingung.

“Cantik sekali kamu, Nduk!” jawabnya datar dan menggetarkan jiwa.

“Hmm, t-terima kasih, Kek!" Adinda memaksakan untuk tersenyum walaupun sangat kaku dan hambar.

“Hmm!” jawabnya dalam gumam pendek. Matanya melirik ke arah dalam rumah. Lirikannya... sungguh mengerikan bagi Adinda.

“Nyai Siti... eh, anu... maksud saya, Kyai Kholil nggak ada, Kek. Silakan duduk dulu. Hmm, ehh... kalau boleh saya tahu. Kakek dari mana?” tanya gadis itu.

Tak ada jawaban dari si kakek misterius. Yang ada hanya hembusan angin lebih kencang dan aroma harum kemenyan yang bercampur dengan aroma aneh lainnya, seperti bau keringat yang tak jelas bentuknya. Kadang bau sperma juga tajam tercium, tapi Adinda sama sekali tak mengetahuinya. Ia sama sekali tidak curiga kalau sedang dipelet oleh si Dewo.

“Kalau begitu, sini temani aku ngobrol.” Dewo tersenyum dan menepuk pundak gadis itu.

Adinda langsung berjengit, seperti tersengat arus listrik. Dan bersamaan dengan itu, pikirannya mendadak menjadi buram. Begitu mata dingin si Dewo memintanya untuk mendekat, maka seketika itu juga Adinda menjatuhkan tubuhnya tanpa bersuara. Jantungnya seakan berhenti berdetak dan terbelalak dengan mata terpentang sangat lebar hingga sulit untuk dikatupkan kembali ketika Dewo melakukan sesuatu yang sangat mengerikan. Adinda tahu, seharusnya dia menolak. Namun entah kenapa sama sekali tak mampu melakukannya.

Pelet si Dewo memang tak mungkin untuk dilawan! Sekali mangsa dijerat, maka tak akan bisa kabur lagi.

“A-apa yang bisa aku lakukan, Kek?” tanya Adinda ragu.

“Kamu santai saja,” Dewo mempersilakan dengan sopan, sungguh bertolak belakang dengan wajahnya yang angker. “Sekarang, lepas semua pakaianmu. Aku ingin melihat tubuhmu.”

Seperti orang bodoh, Adinda melakukannya. Ia segera mempreteli bajunya meski dalam hati merasa sangat bungung. Saat akan melepas dalemannya, Dewo melarang. “Yang itu jangan, biar nanti aku yang melepas. Sama jilbabmu juga jangan.”

Hanya dengan jilbab dan celana dalam, Adinda duduk bersebelahan dengan Dewo. Dengan gemas lelaki tua yang sudah bau tanah itu meraih tubuh sekal Adinda ke dalam pelukannya. Aroma parfum Adinda yang lembut membuatnya mulai naik, dibelainya bulatan payudara gadis itu yang kini hanya tertutup jilbab lebar.

“Hmm, gede juga susumu,” gumam Dewo sambil merebahkan tubuh mungil Adinda ke kursi ruang tamu. Dia langsung menciumi gadis itu sesaat setelah Adinda telentang. Diciumi kedua pipi dan kening Adinda, juga dilumatnya bibir gadis itu dengan rakus.

Adinda hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat melihat wajah seram Dewo yang mendekati mukanya. Belum pernah ada lelaki yang menciumnya, dan sekarang begitu mendapatkan, malah kakek tua renta seperti Dewo yang melakukannya. Bibir tebalnya terus melumat rakus, mengirim rasa muak pada diri Adinda pada awalnya, namun gadis itu tersadar bahwa ia sama sekali tidak sanggup untuk menolak. Inilah salah satu kehebatan pelet Dewo: semakin kuat korbannya melawan, maka dia akan semakin terjerat. Dan begitu sudah masuk ke dalam perangkap, maka tidak ada jalan untuk kembali.

Masih tetap memejamkan mata, Adinda mulai membalas lumatan bibir dan lidah Dewo dengan ragu-ragu. Meski batinnya menjerit, entah mengapa tubuhnya malah bergairah. Terasa aneh saat ia membalas lumatan laki-laki itu, sementara Dewo terus menyapukan lidah dengan terburu-buru dan melumat bibir tipis Adinda dengan mulutnya yang tebal. Dengan satu ‘tiupan’ terakhir, ia memasukkan sisa peletnya agar dapat menekan perasaan ragu yang timbul pada diri Adinda, lalu digantinya dengan bisikan gaib bahwa ini adalah sebuah kewajiban untuk dapat memuaskannya.

Tangan Dewo sudah menjelajah ke sekujur dada gadis itu; diremasnya bulatan payudara Adinda dengan kasar, diselipkannya di balik jilbab. Kulit tangannya terasa kaku saat meremas, dan Adinda menggeliat begitu Dewo mempermainkan putingnya yang mungil dengan dua jari.

“Hmm, Kek...” dia merintih, namun tetap diam saat satu tangan Dewo mulai mengelus celana dalam hitam berenda merah yang ia kenakan.

Sesaat Dewo menghentikan ciumannya, mengamati tubuh sekal Adinda, lalu tersenyum dan kembali melumat bibir tipis gadis itu dengan lebih bergairah. Bibir dan lidahnya beranjak menyusuri leher putih Adinda karena kini jilbabnya sudah disingsingkan ke belakang, Dewo ingin menatap bulatan payudara gadis itu dengan lebih jelas. Dipandanginya sejenak dua bukit kembar yang begitu putih dan mulus itu, dirasakannya dengan meremas-remasnya ringan, sebelum kemudian bibir tebalnya menyambar, mendarat tepat di puncaknya yang mungil menjulang kemerahan.

“Ahh...” Mata Adinda masih terpejam meskipun kegelian mulai menghinggapi tubuhnya.

Ia remas-remas rambut kaku Dewo ketika laki-laki itu terus menyusu di dadanya. Dia menggeliat tanpa sadar saat bibir tebal Dewo menyentuh putingnya. Terasa aneh pada awalnya, tapi makin lama makin terasa enak, hingga membuat Adinda mulai mendesis dalam nikmat. Apalagi Dewo menyelinginya dengan meremas-remas lembut puting yang satunya, bergantian mengulum dari puting kiri ke yang kanan, lalu balik lagi, dan begitu terus selama beberapa waktu sampai desahan Adinda semakin lepas keluar.

“Ahh... aughh... Kakek, a-apa yang... k-kakek l-lakukan?!! Arghh!!” Adinda menggelinjang.

Namun meski sudah kepanasan, mendesah serta keringetan, dia masih belum mampu membalas lebih jauh. Masih ada keraguan untuk menggerakkan tangannya ke selangkangan Dewo yang terasa mulai menegang, menyundul-nyundul kaku di perutnya. Terasa begitu membuai. Adinda hanya sebatas meremas-remas rambut laki-laki tua itu, karena sejujurnya memang baru pertama kali ini dia berbuat yang seperti ini.

“Ssh... nikmati saja, Nduk,” Dewo melanjutkan penjelajahannya, disusurinya perut Adinda dengan bibirnya yang tebal dan berhenti di selangkangan gadis muda itu.

Dia membuka lebar kaki Adinda, dan menarik turun celana dalam yang masih menutup di sana. Tanpa membuang waktu, lidahnya langsung menari pada biji klitoris Adinda, membuat si gadis langsung menjerit tertahan merasakan kenikmatan jilatan Dewo yang tak terduga. Mata Adinda masih terpejam, namun kini tangannya meremas-remas bulatan payudaranya sendiri untuk melampiaskan geli akibat lidah dan bibir Dewo yang bergerak liar di liang memeknya.

“Ahh, Kakek!! Aku... aughh....  geli!!” Gadis itu melambung dengan desahan semakin keras.

Sembari mempermainkan memek Adinda, tangan Dewo juga mengelus paha dan meremas-remas buah dada gadis itu. Remasannya begitu keras dan kasar, namun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya, malah semakin membuat Adinda menjerit takluk.

“Sini, Nduk!” Dewo merubah posisi, kini ia tuntun tangan Adinda agar meranjak ke batang kontolnya yang sudah tegang mengeras.

Dengan masih ragu Adinda memegang dan meremas-remasnya pelan. Kaget dia merasakan betapa panjang dan besarnya benda itu karena seumur-umur baru sekarang dia memegang kontol laki-laki. Karena penasaran, terpaksa ia membuka mata untuk melihatnya, dan langsung terhenyak. Dewo sudah telanjang di depannya, dengan kontol teracung sangat panjang dengan bentuk melengkung ke atas seperti busur panah. Sungguh sangat menarik sekali. Kalau bukan karena pelet, tidak mungkin Adinda bisa berpendapat seperti ini.

“Ahh...” Mata gadis itu kembali terpejam saat merasakan jilatan di memeknya kembali menghebat. Kali ini tanpa ragu lagi tangannya mulai mengocok-ngocok kontol panjang Dewo, rasanya tak sabar untuk segera merasakan benda itu masuk ke dalam liang memeknya yang masih perawan.

Dan keinginan itu tersampaikan beberapa menit kemudian, saat Dewo mulai berlutut diantara kedua kakinya. “Ahh... Kakek! Pelan-pelan saja,” pinta Adinda sambil menggelinjang.

Dia sudah siap seandainya benda itu melesak masuk, tapi Dewo justru mempermainkan dengan mengusap-usapkan penisnya ke paha dan bibir memek Adinda. Padahal kaki si gadis sudah terpentang lebar, dan pinggulnya turun-naik merasakan kegelian yang luar biasa di lubang memeknya.

“Ayo, Kek. Cepat masukkan!” kembali Adinda meminta.

“Dasar perempuan gatal, maunya cepat-cepat saja. Nih, emut dulu kontolku!” Dewo mengarahkan batang kontolnya ke mulut mungil Adinda.

Gadis yang masih mengenakan jilbab namun kini sudah awut-awutan itu, segera melahapnya dengan rakus. Dia mengulum dan menjilatinya sebisa mungkin, sempat beberapa kali pula tersedak, namun nampaknya cukup lancar meski ini adalah pengalaman pertamanya. Dewo tampak menikmati, dia mendesah-desah dengan mata tertutup sambil tangannya menggerayangi bulatan payudara Adinda yang berukuran cukup lumayan.

Setelah dirasa cukup, barulah Dewo kembali ke bawah. Dirabanya memek sempit Adinda sebentar sebelum sedikit demi sedikit kejantanannya memasuki liang kenikmatan itu.

“Aihh...” Adinda mulai menjerit. Ohh, betapa sakitnya kontol itu... tapi juga teramat nikmat! Makin dalam semakin nikmat, dan dia benar benar berteriak ketika Dewo berhasil menjebol selaput dara-nya.

“Pelan-pelan, kek... ughh! Pelan-pelan!” Adinda merintih saat Dewo mulai mengocok pelan maju-mundur. Sungguh sakit luar biasa, tapi juga ada sedikit rasa geli saat alat kelamin mereka saling bergesekan. Tak pernah Adinda merasakan yang seperti ini.

Dari tangis, perlahan jeritannya berubah menjadi rintihan. Dan manakala Dewo mengocok semakin cepat, sambil sesekali menyusu di puting payudaranya, desah napas Adinda pun semakin menderu, berpacu dengan desis dan jerit kenikmatannya. Dia tak bisa menahan rasa ini lebih lama lagi, matanya yang tak lagi terpejam bisa melihat dengan jelas ekspresi nikmat dari wajah Dewo yang hitam menyeramkan. Namun entah kenapa justru pemandangan itu terlihat begitu menggairahkan bagi dirinya.

Maka Adinda menurut saja ketika Dewo menunduk untuk mencium bibirnya, bahkan ia pun tak segan untuk ikut memeluk dan melumat rakus. Semuanya telah berubah akibat pengaruh pelet Dewo; dari yang asalnya menolak, kini Adinda sudah pasrah sepenuhnya, apalagi ketika merasakan nikmatnya kejantanan Dewo yang terus menghujam cepat seperti tiada berhenti.

Mereka terus mengayuh sampan birahi itu hingga ke tengah samudra nafsu yang terdalam. Keringat Dewo mengalir deras membasahi dada dan jilbab Adinda yang belum juga terlepas. Tubuhnya yang putih mulus semakin erat dalam dekapan tubuh hitam laki-laki tua itu. Dewo memeluk gadis itu dengan erat sembari pantatnya terus bergerak turun naik secara bertubi-tubi. Kocokannya berubah semakin cepat, membawa Adinda lebih dekat ke puncak birahinya.

“Ahh... Kakek!!” Jepitan kakinya pada pinggul Dewo membuat kontol laki-laki itu semakin dalam mengisi liang kenikmatannya. Ukurannya yang begitu besar serta bentuknya yang aneh dan panjang, serasa melempar Adinda hingga ke surga.

Pertahanannya pun jebol. Dengan kaki masih menjepit kuat, meledaklah jerit kenikmatannya. Ia mencengkeram erat kepala Dewo yang menempel di lehernya untuk meminta jeda sejenak, namun laki-laki itu justru malah mempercepat kocokannya.

Dewo kini berbaring telentang dan meminta Adinda agar duduk di atas. Dengan kondisi masih lemas, Adinda ragu apakah bisa bertahan lebih lama lagi. Sejenak ia pegang-pegang, lalu diremas-remas dan dikocoknya batang kontol Dewo dengan tangannya. Ini agar dia bisa menarik napas untuk beristirahat. Tak berkedip diamatinya kontol Dewo yang baru saja merobek perawannya., benda itu begitu keras dan hitam seperti kayu habis terbakar. Meski sudah tua, namun begitu kokoh dan kuat. Ingin rasanya Adinda melumatnya habis, namun Dewo keburu mengatur posisi tubuhnya hingga perlahan kontol itupun masuk kembali, menguak liang kenikmatannya mili demi mili hingga akhirnya terbenam semua.

“Ahh... enak memekmu, Nduk!” Dewo memandang, seolah menikmati ekspresi kesakitan yang kembali dialami oleh Adinda sembari tangannya menggerayangi kedua buah dada gadis muda itu. Dia mencegah Adinda yang mencoba membuka peniti jilbabnya.

“Biarkan saja. Sekarang, kamu goyangkan saja tubuhmu!” Dewo memang suka menyetubuhi perempuan dengan jilbab tetap terpasang, erotismenya terasa lebih nyata.

“Ahh... ahh...” Tubuh Adinda mulai bergerak turun-naik, pelan tapi semakin cepat dengan diiringi desahan dan jeritan nikmat dari Dewo. Mata laki-laki itu tak pernah lepas dari dadanya, terpancar ekspresi kepuasan di wajah Dewo saat tangannya menggerayang untuk meremas-remas benda bulat itu.

“Sini Nduk cantik,” Ditariknya tubuh sekal Adinda ke dalam pelukan. Kembali mereka saling mengadu bibir dan lidah. Hilang sudah rasa enggan pada diri Adinda, beralih dengan perasaan yang begitu eksotis, membuatnya makin bergairah dalam pelukan dan kocokan si laki-laki tua.

“Ahh... Kakek!!!” Adinda berteriak histeris ketika merasakan tubuh Dewo menegang saat menyemprotkan cairan spermanya. Pejuh kental itu terlontar sangat kencang hingga ke lorong rahimnya yang terdalam.

Adinda bisa merasakan dengan jelas denyutan demi denyutan kontol Dewo yang terus meludahkan cairan kental, membuat dinding-dinding memeknya jadi semakin lengket dan membanjir deras. Dewo memeluknya erat, sementara napas mereka menderu saling berpacu, lemas dalam keheningan. Hanya degup jantung yang saling bersahutan terdengar begitu keras.

Adinda menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki itu, merasakan kontol Dewo yang masih tegang tetap mengisi liang senggamanya. Jantungnya berdetak kencang, sementara pandangan matanya pun menjadi serba hitam pekat. Tulang dan urat-urat Adinda seperti putus semua, dan ia pun melayang entah ke mana. Gadis itu pingsan!

“Lho, dia kenapa Mas Dewo?!” Nyai Siti panik menemukan Adinda terkapar di kursi ruang tamu, sedangkan Dewo sudah memakai pakaiannya kembali.

“Hanya kecapekan,” kata Dewo sambil menyuruh Nyai Siti agar menutupi tubuh Adinda yang telanjang. “Nanti juga siuman.”

Nyai Siti memandangi wajah cantik Adinda yang kini sepucat mayat. Dia segera memasang kembali baju gadis itu sebisanya, sebelum Kyai Kholil pulang. Kalau sampai melihat Adinda dalam kondisi seperti ini, bisa-bisa suaminya itu tertarik dan ikut menyetubuhinya juga. Sesuai pesan dari Dewo, setelah semua lubangnya dicicipi, barulah korban yang masih perawan boleh diambil oleh Kyai Kholil. Nyai Siti berniat untuk mematuhinya karena tidak ingin kena marah.

“Bagaimana Bayu, sudah kau laksanakan perintahku?” tanya Dewo sambil mengambil air minum dari panci yang ada di dapur.

“Sudah 2 kali spermanya kukuras, tapi tetap masih belum encer juga. Sepertinya dia cukup kuat.” sahut Nyai Siti.

“Lakukan terus, kalau perlu sampai dia pingsan. Aku baru bisa memasukkan guna-gunaku kalau dia sudah benar-benar menyerah.”

Nyai Siti mengangguk dan lekas beranjak ke kamar. Di sana, terikat di atas ranjang, tampak Bayu berbaring lemas dengan tubuh telanjang bulat. Kontolnya sudah kemerahan akibat terus disepong dan dipakai oleh Nyai Siti. Namun kini benda itu sudah kembali berdiri menegak. Nyai Siti segera menyingkap kebayanya dan duduk mengangkangi, kembali memasukkan batang kontol itu ke dalam celah memeknya yang melembab cepat.

“Ahh...” Bayu mendesah, terlihat linglung dan bingung. Selanjutnya ia merintih begitu Nyai Siti mulai menggoyang tubuh sintalnya naik-turun secara perlahan-lahan.

“Mungkin kamu harus meminta bantuan pada Rohmah atau Wiwik,” kata Dewo yang melongokkan kepala di sela-sela pintu.

“Hhh... sepertinya memang begitu,” desah Nyai Siti, dan kini menggoyang semakin cepat.

Menyeringai senang, Dewo segera beranjak kembali ke ruang tamu. Dipandanginya tubuh sekal Adinda yang masih pingsan. Untuk ronde kedua nanti, ia berniat untuk mencicipi lubang anus gadis itu. Tapi sepertinya Dewo harus bersabar hingga Adinda siuman.
============================================================================
============================================================================
============================================================================
"Lho, Paman... kenapa Adinda pingsan disini?!" tanya Rohmah begitu pulang dari masjid.

"Hehe... habis aku kerjain! Sedap juga tubuhnya, kamu memang pintar milih teman." ujar Dewo dengan napas masih terengah-engah.

Rohmah tersenyum kecut dan segera membantu Dewo membawa Adinda masuk ke kamar tidurnya sebelum Kyai Kholil datang. Gadis cantik yang bertubuh indah itu sempat memandang ke sana-sini untuk mencari ibunya, tapi tidak ketemu.

“Ummi mu lagi di kamar, tadi kusuruh ngurus Bayu.” ucap Dewo seperti menjawab pertanyaan Rohmah.

“Oo... jadi pemuda itu namanya Bayu ya, paman?” Rohmah tersenyum penuh arti.

“Kenapa, kamu tertarik?” tanya Dewo.

Rohmah diam saja, tidak menjawab. Tetapi senyumnya terlihat semakin lebar.

“Tenang saja, setelah Ummi-mu selesai, kamu pasti mendapat giliran.” kata Dewo meredam nafsu gadis itu.

“Beneran, paman?” Rohmah memekik gembira. Tak sabar rasanya bisa ngentot dengan Bayu yang berwajah tampan itu, yang kontolnya sepertinya cukup besar untuk menggaruk memeknya yang sekarang sudah gatal.

“Iya.” angguk Dewo. “Tapi sekarang, bantu aku untuk memperkosa temanmu ini,”

“Lho, bukannya sudah?” Rohmah bertanya bingung.

“Bokongnya belum,” jawab Dewo singkat sambil membuka pintu kamar.

Dengan dibantu Rohmah, ia menaruh tubuh mulus Adinda ke atas tempat tidur. Berikutnya, Dewo menyadarkan gadis itu dengan menjentikkan jarinya seperti memanggil seekor burung. Suara jentikan jari itu menghadirkan gelombang aneh yang menyentakkan kesadaran Adinda. Gadis itu terkejap-kejap sebentar, dan di sela-sela kebingungannya, dia tersenyum saat melihat kehadiran Dewo.

“Kakek?” panggil Adinda dengan nada suara manja, sama sekali tak terlihat takut dengan sosok berjenggot panjang dan berpenampilan dekil yang baru saja memetik keperawanannya. Gadis cantik jelita berpenampilan kalem tapi sangat simpatik itu malah nampak ingin kembali berdekatan dengan Dewo.

Dewo menggumam lirih dan manggut-manggut. Begitulah efek peletnya, yang sama sekali tak bisa dilawan. Siapapun pasti takluk, bahkan akan meminta lagi untuk disetubuhi.

Adinda berkerut dahi ketika melihat keberadaan Rohmah yang berdiri tak jauh dari pintu. “Lho, kamu sudah pulang?” tanyanya tanpa curiga.

Rohmah hanya tersenyum, dan dia mengangguk saat mendengar gumam pelan dari Dewo. “Iya, paman.” Ia menyanggupi, lalu dengan pelan pula ia mengajukan saran agar Dewo bisa leluasa menikmati lubang dubur teman cantiknya, meski ia tak yakin sarannya akan diterima atau justru malah diabaikan.

"Bener, bener. Bagus juga idemu itu!" Dewo tertawa sendiri.

"Apaan sih, kek?” tanya Adinda melihat tingkah laku Dewo yang aneh. Dia mencoba untuk duduk, tapi pandangan mata Dewo langsung membuatnya salah tingkah, tersipu, dan malu. Akhirnya gadis cantik itu pun berbaring kembali .

"Paman Dewo pengen ngentotin kamu lagi, Din. Gimana, kamu mau kan?” tanya Rohmah sambil pelan-pelan mendekati tubuh sahabatnya.

"Aku mau masukin pantatmu!" kata Dewo dengan tenang sebelum Adinda sempat menjawab. Wibawanya cukup tinggi, kharismanya pun besar, hingga membuat Adinda jadi tak bisa membantah lagi.

Dewo lalu melepas celananya dan memberikan kontol hitamnya yang sudah menegang ke depan wajah si gadis cantik. “Emut dulu, kita main-main sebentar.” ajaknya tanpa sungkan.

Dengan dibantu oleh Rohmah, Adinda segera menjulurkan lidahnya. Pelan ia mulai menjilati batang kontol itu; berawal dari buah zakar, kemudian merambat ke pangkal penis. Disana lidah panjang Adinda bergerak melingkar membasahi urat-urat kontol Dewo, meniru gerakan yang dilakukan oleh Rohmah. Temannya itu nampak sudah mahir, padahal Rohmah adalah anak Kyai dan sehari-hari kelihatan alim, namun ternyata...

Kekagetan Adinda terputus ketika Dewo mendorong masuk seluruh penisnya dengan tiba-tiba, tenggelam utuh ke dalam mulutnya. “Mainkan lidah dan bibirmu di ujungnya, Din!” bisik Rohmah memberi tahu, dan Adinda lekas melakukannya.

Diserang di tempat yang paling sensitif membuat Dewo mulai merintih oleh sensasi nikmat, "Yah, terus! Tepat di sana, hisap yang keras!"

Adinda membuka mulutnya sesuai ukuran kontol Dewo; karena benda itu begitu besar, maka ia pun harus menganga dengan selebar mungkin. Kulumannya tidak bisa cepat, namun hisapan yang perlahan itu pun sudah sanggup membuat kaki Dewo bergetar halus. Laki-laki itu segera mengulurkan tangan untuk meraih bulatan payudara Adinda yang kini sudah dibuka oleh Rohmah.

“Ini, paman, silakan,” gadis itu juga membuka bajunya sendiri, membiarkan Dewo memilih mau memenceti yang mana.

Tidak kekurangan akal, Dewo menyambar keduanya. Buat apa disia-siakan kalau keduanya siap? Maka tangan kiri ia ulurkan ke tetek Rohmah yang masih kelihatan sempurna, sementara satunya ia luncurkan ke bawah menuju buah dada Adinda yang nampaknya berukuran sedikit lebih besar.

“Ahh...” kedua gadis itu pun merintih secara berbarengan manakala jari-jari keriput Dewo mulai bermain di puting masing-masing.

Dewo tahu, payudara adalah salah satu bagian sensitif pada tubuh wanita. Namun tidak semua bagiannya dapat dirangsang, kebanyakan hanya bagian puting saja yang mampu meningkatkan hasrat seksual. Karena itulah jari-jari Dewo terulur kesana. Dia memijit dan memilin-milinnya pelan hingga ia rasakan kedua puting gadis itu mulai mencuat keluar.

“Enak, paman...” Rohmah merintih, sementara Adinda hanya bergumam saja karena mulutnya penuh oleh kontol Dewo. Kuluman gadis itu nampak lebih cepat sekarang, giginya juga sudah tidak menabrak-nabrak lagi. Adinda dengan cepat belajar dan menjadi lebih pintar.

“Terus, nduk.” Dewo mendesis. Nikmat sekali emutan mulut Adinda saat mempermainkan kontolnya. Sedotannya yang liar membuat Dewo menggelinjang penuh gairah.

Dia pun tidak tinggal diam, rakus mulutnya melahap bongkahan payudara Adinda yang tersaji indah di depannya. Ia ciumi sepasang payudara yang baru tumbuh itu, dijilatinya kulit yang putih bersih itu sambil sesekali menghisap putingnya yang sudah menegang kaku.

“Eghh...” Adinda ikut melenguh. Dan lenguhan itu berubah menjadi jeritan ketika jemari tangan Dewo mulai mengerjai liang memeknya yang dihiasi bulu-bulu halus tak seberapa tebal. Dewo menyentuhnya, memasukkan jari tengahnya untuk mengobok-obok liang sempit itu, sambil mulutnya terus menyedot puting susu Adinda yang terasa semakin mengeras.

“Aghh... kakek!” gadis itu melenguh hebat dengan kepala terdongak, sementara mulutnya membuka mengeluarkan suara desisan mirip ular. Kontol Dewo terlepas dari jepitannya saat ia menjerit kencang, “Eeshh... oughh... aahh!!” erangnya menggelinjang.

Dewo terus mengerjai habis tubuh molek Adinda; bukan hanya memek gadis itu yang ia tusuk-tusuk, melainkan lubang anusnya juga mulai ia sentuh dan raba-raba pelan. Merasa tidak ada penolakan, Dewo pun melanjutkan aksinya; pelan ia masukkan satu jari ke lubang sempit itu setelah terlebih dahulu meludahinya. Dewo tak ingin terburu-buru, dengan sabar ia pastikan dubur Adinda bisa terlumasi dengan benar agar tidak sakit ataupun perih saat ditusuk nanti.

Melihat Adinda melenguh nyaman dengan satu jari di anusnya, Dewo melanjutkan memasukkan dua jari, lalu berhenti untuk memantau situasi. Adinda tampak masih melenguh nikmat, maka Dewo meneruskan sampai akhirnya tiga jarinya tenggelam ke liang dubur gadis cantik itu.

“Ahh... kakek!” Adinda memekik, namun bukan karena sakit. Malahan ia terkejang-kejang karena kocokan Dewo di dua lubangnya membuatnya orgasme.

Tubuh Adinda melemas dalam pelukan Dewo. Dia berbaring pasrah, memposisikan tubuh bugilnya di bawah laki-laki tua itu. Tampak kakinya terjuntai ke bawah bersentuhan dengan lantai.

Sementara Adinda tergeletak kalah, kini ganti Rohmah yang mengulum batang kontol Dewo yang hitam itu. Nikmat tak terkira kembali dirasakan si lelaki tua manakala Rohmah dengan begitu bernafsunya menyedot serta menghisap-hisap selangkangan Dewo sambil sesekali menjilati lubang mungilnya yang perlahan mengeluarkan air seni. Yah, saking enaknya, Dewo sampai terkencing-kencing. Bukan kencing sperma, melainkan kencing beneran!

Air seninya kini mengalir deras membasahi wajah cantik Rohmah, beberapa bahkan tertelan oleh putri tunggal Kyai Kholil itu. Namun bukannya jijik, Rohmah malah membuka mulutnya semakin lebar hingga air kencing Dewo masuk semua ke tenggorokannya. Rohmah menelan, dan Dewo pun tertawa bangga.

“Pintar kamu, nduk. Nanti kukasih hadiah tusukan di bokong!” desahnya.

“Benr ya, paman? Sudah lama bokongku nggak terjamah, kangen sama kontol paman.” Sambil berkata begitu, Rohmah mengerang penuh nikmat dan mengajak Adinda agar menjilati air kencing Dewo yang masih berceceran.

Adinda mengernyit. Dalam situasi normal, dia pasti akan menolak dan enggan melakukan hal jijik seperti itu. Tapi karena pengaruh pelet Dewo, tanpa banyak memprotes ia meneguk semua cairan yang bisa ia dapatkan, bahkan berebutan dengan Rohmah, mereka bergantian memandikan kontol hitam Dewo hingga bersih dari air kencing. Penis yang masih ngaceng itu kini tampak mengkilap oleh air liur keduanya.

“Hmm... kamu bakal jadi budakku yang pintar, nduk!” lirih Dewo sambil menusukkan kontolnya lebih dalam ke mulut Adinda, sampai menyentuh tenggorokan gadis muda itu. Lalu kontol itu mulai berkedut-kedut, menandakan ada sesuatu yang hendak keluar.

Adinda hanya bisa menggeleng-geleng tanpa bisa bersuara karena Dewo memegang kepalanya erat-erat. Dan, “Serr.. serr.. serr..” Dewo kembali tersenyum saat mengeluarkan air seninya, mengencingi mulut Adinda yang menerimanya dengan sepenuh hati dan langsung menelan habis semuanya.

Ah, betapa nikmatnya hidup ini bila bisa begini terus! Batin Dewo dalam hati. Diperhatikannya Adinda yang kembali menjilati kepala penisnya, membersihkan sisa-sisa air seni dengan lidahnya. Dewo pun tersenyum puas. Diangkatnya tubuh gadis itu dan dipeluknya rapat, diciuminya bibir, pipi, hidung, dan leher Adinda sampai gadis itu melenguh kegelian. Sambil berciuman mesra, Dewo mengelus lubang dubur Adinda, memainkan jari tangannya di sana.

“Eehh...” gadis itu mengerang penuh nafsu.

Rohmah membantu dengan duduk jongkok diantara mereka, dan pelan-pelan memainkan lidahnya di liang senggama Adinda yang sudah membanjir deras. Dia menusukkan jemarinya di memek Adinda yang halus seperti jelly, dan menjepit daging mungil yang bisa ia dapat hingga membuat Adinda menjerit dalam kenikmatan. Rohmah terus menyentuh lembut itil sahabatnya hingga Dewo menyuruhnya berhenti.

“Sudah, nanti dia muncrat lagi,” ucap lelaki tua itu sambil menciumi Adinda begitu mesra.

Namun terlambat, Adinda sudah menjerit duluan, “Eeghh... ahhh!” Tubuh mulusnya kembali terkejang-kejang, erangannya yang penuh nikmat kembali terdengar saat dia menjemput orgasmenya.

Rohmah merasakan jemari tangannya menjadi basah karena disemprot oleh cairan bening yang keluar dari memek Adinda. “Payah kamu, Din. Gampang banget keluar.” ejek Rohmah meremehkan.

Adinda yang masih diliputi kepuasan yang sangat indah, hanya bisa melenguh sambil bersandar lemas ke tubuh Dewo. Dibiarkannya lelaki tua itu meremas-remas payudaranya yang montok dengan jemarinya yang keriput. Dewo meremas yang sebelah kanan, sementara yang kiri ia jilati dengan penuh perasaan.

“Ah, kamu juga dulu begitu saat baru ketemu sama kontolku,” sahut Dewo pada Rohmah saat sudah puas menyusu.

Rohmah hanya tersenyum saja dan ikut berbaring beristirahat bersama mereka. Di kala dua gadisnya terlelap, Dewo menyulut rokoknya dan menghisapnya pelan-pelan. Beruntung sekali dirinya, di usia yang sudah senja seperti ini, dia masih bisa merasakan kehangatan tubuh gadis remaja seperti Rohmah dan Adinda. Kalau bukan karena ahli pelet, tidak mungkin dia bisa seperti ini. Dewo sangat mensyukurinya, dan dia semakin senang saat teringat Bayu, saudara seperguruannya yang sudah ia kalahkan. Kini tidak ada lagi yang menghalangi, Dewo bebas melampiaskan hasrat bejatnya; kapan pun dan dimana pun. Berhati-hatilah wahai penduduk desa, Dewo siap datang menebar bencana!

Sedang enak-enaknya melamun, Dewo dikejutkan oleh sekelebat bayangan dari balik pintu. Cepat-cepat Dewo bangkit dan mengenakan celana panjangnya. Pelan ia melangkah untuk menginitp. Adinda dan Rohmah hanya menggeliat saja dan meneruskan tidur mereka, tetap dengan tubuh telanjang bulat.

Di luar, Dewo memergoki seorang lelaki yang sangat ia kenal. Ternyata itu adalah Kyai Kholil yang baru saja pulang dari ceramah di desa sebelah. Lelaki berusia 40 tahun itu tersenyum saat melihat kemunculan Dewo.

“Paman belum tidur?” tanya Kyai Kholil sambil menaruh pecinya ke atas lemari.

“Emm, masih ada yang harus aku kerjakan.” Dewo beringsut ke dapur untuk mengambil air putih.

Kyai Kholil menengok ke dalam kamarnya dan memergoki Nyai Siti yang masih berusaha keras menaklukkan Bayu. “Eh, Abi sudah pulang.” Nyai Siti menyapa dengan tubuh terlunjak-lunjak di atas selangkangan Bayu, kontol pemuda itu tampak menancap menembusi liang memeknya.

Kamar berbau sperma dan keringat, membuat Kyai Kholil tanpa sadar jadi ikutan ngaceng. Pelan ia dekati tubuh sang istri dan diremasnya bulatan payudara Nyai Siti yang berlompatan seiring dengan genjotannya. “Boleh aku ikut?” tanyanya penuh nafsu.

“Jangan,” potong Dewo yang tiba-tiba muncul di depan pintu. “Biarkan istrimu melaksanakan tugasnya. Kalau kamu memang tak tahan, ayo ikut ke kamarku.”

Kyai Kholil tidak sanggup untuk membantah. Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, ia nurut saja mengikuti langkah-langkah Dewo. Di belakang mereka, begitu menutup pintu, terdengar jeritan Nyai Siti yang sedikit teredam begitu perempuan cantik itu menjemput orgasmenya, entah untuk yang keberapa kalinya malam itu. Namun tugasnya masih jauh dari kata selesai karena kontol Bayu masih saja mengacung tegak. Selama benda itu masih bisa ngaceng, Dewo tak bisa memasukkan ilmu peletnya. Itulah tugas Nyai Siti, dia harus bisa menguras semua sperma Bayu hingga pemuda yang badannya kini terikat di ranjang, bisa dikuasai sepenuhnya.

Dewo mengajak Kyai Kholil ke kamarnya dan mempersilakannya masuk. “Hah, ini...” laki-laki itu memang sempat sedikit kaget; dikiranya Wiwik dan Rohmah yang sedang pulas di atas kasur Dewo, tak tahunya...

“Namanya Adinda, teman Rohmah.” terang Dewo, dan langsung membangunkan gadis itu. “tapi dia milikku. Aku belum ngentot bokongnya. Jadi kalau pak Kyai mau ikutan, tuh ada Rohmah yang lagi nganggur nggak aku pakai.”

Kyai Kholil tertawa, “Mana saja boleh, paman. Yang penting saya bisa dapat memek malam ini,” Hilang sudah sosok seorang Kyai yang tadi dengan kusyuk memberi ceramah di masjid, berganti dengan sosok jahanam yang sanggup meniduri anaknya sendiri. Lagi-lagi, hanya pelet Dewo lah yang bisa membikin seperti ini.

Kyai Kholil segera melepas semua bajunya hingga telanjang. Tampak tubuhnya yang agak gemuk, dekil dan berkulit hitam, dengan rambut yang tersisir rapi sedikit ubanan. Kontol yang menggantung di selangkangannya lumayan besar, tapi tetap tidak bisa mengalahkan kontol hitam Dewo yang berurat-urat, yang selalu memberi kenikmatan pada wanita-wanita yang dientotinya.

Pelan Kyai Kholil melangkah mendekati Rohmah dan membangunkannya. Gadis itu sedikit terkejut melihat kedatangan ayahnya, yang tiba-tiba sudah berada di kamar dalam keadaan telanjang bulat. Namun Rohmah cepat tersenyum, dan tanpa perlu disuruh dia pun langsung memegang dan meremas kontol Kyai Kholil.

“Pinter kamu, nduk. Persis sama ibumu,” bisik Kyai Kholil.

Rohmah yang sudah pengen dientot, tampak senang dengan kontol ayahnya. Segera diciuminya benda panjang itu dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Tubuh Kyai Kholil terlonjak saat kontol hitamnya yang telah disunat mulai dicium dan dikulum oleh Rohmah. Gadis cantik dan menawan yang biasanya lugu saat di sekolah itu, kini seolah-olah berubah menjadi gadis liar yang haus akan kontol laki-laki.

Sedang enak-enaknya menonton kegiatan ayah dan anak itu, Dewo dikejutkan oleh kehadiran Adinda yang memeluknya manja dan langsung meremas-remas batang kontolnya yang masih menegang. Tubuh indah gadis itu dengan payudaranya yang montok bersentuhan dengan dada Dewo.

“Kek, ayo... katanya mau nusuk bokongku, kapan?” desah Adinda manja sambil menyambar bibir tebal Dewo.

Kembali mereka berciuman dengan penuh gairah, lidah keduanya saling membelit satu sama lain dengan Dewo memeluk erat tubuh gadis itu dan perlahan memutarnya hingga Adinda kini duduk menungging di atas ranjang. Gadis itu langsung membentangkan pahanya lebar-lebar untuk memperlihatkan liang senggamanya dari arah belakang, meminta untuk dijilat.

Namun bukan itu yang dituju oleh Dewo, dia sama sekali tidak menyentuh memek Adinda, melainkan lubang dubur gadis itu yang sekarang terlihat indah merekah tanpa malu-malu lagi. Ke sanalah lidah buas Dewo terarah. Pelan ia menciuminya, lalu menjilatinya, sebelum kemudian menguakkannya dengan dua jari dan membenamkan lidahnya jauh ke dalam sebisa yang ia capai.

“Ehh... shh... aghh!!” Adinda langsung mengerang, apalagi saat Dewo mengiringi jilatannya dengan tusukan dua jari yang sanggup membuatnya menggelinjang pelan.

Dewo menyikat habis lubang mungil itu. Lidahnya bergerak liar menyentil-nyentil, tangannya juga tak pernah berhenti menusuk, hingga tak lama, liang awalnya terlihat tak mungkin untuk dimasuki itu, kini sudah siap untuk diisi kontol.

Dewo pun pun berdiri dan memandang wajah cantik Adinda yang kini meredup. Dengan mata berkaca-kaca gadis itu berkata lirih, “Lakukan, Kek. Aku sudah siap!”

Dewo segera memegangi batang penisnya. Kontol yang masih ngaceng itu terlihat begitu kencang dan panjang. Pelan Dewo mengarahkannya ke lubang dubur Adinda, ditempelkannya kepala penis yang tumpul itu ke sana dan pelan-pelan didorongnya masuk.

“Eegghh... uuuhh!!” Adinda merintih, antara sakit dan nikmat. Ujung kontol Dewo terus membelah lubang duburnya dan mulai masuk secara perlahan-lahan. “Pelan-pelan, Kek. Oghh!!” rintihnya menahan ngilu.

Luar biasa sempit lubang mungil itu, baru masuk sepertiganya saja, Dewo sudah tidak bisa mendorong lagi. Namun ia sudah bisa merasakan remasan-remasan nikmat liang anus Adinda yang membungkus batang kontolnya. Dewo menarik, lalu menekan lagi. Sedikit demi sedikit, hingga kontolnya kembali tenggelam semakin dalam.

“Oughh... Kek!” Adinda kembali mengerang lebih panjang dengan tubuh menggeliat pelan.

“Ahh,” Dewo ikut mendesis. Dia mulai mengayun, gerakan yang awalnya pelan, makin lama semakin kencang, juga sangat keras, membuat anus Adinda begitu kuat meremas batang penisnya.

Bukannya sakit, hal itu justru membuat persetubuhan mereka kian bertambah nikmat. Maka Dewo memompa pinggulnya semakin kuat lagi, mendesak kontolnya yang besar hingga mentok di dalam lubang dubur Adinda. Dengan bertambah cepatnya genjotan itu, tambah kencang pula gadis itu berteriak. Jeritannya bersahut-sahutan dengan erangan Rohmah yang kini juga telah disetubuhi oleh Kyai Kholil. Kedua laki-laki yang sudah berumur itu seperti sedang berlomba memuaskan gadis-gadis bau kencur yang tidak seharusnya mereka nikmati.

Diantara keduanya, ternyata Adinda yang mengerang lebih dulu, ia nampak tidak kuat lagi menghadapi genjotan Dewo yang terus menerus melesak di lubang duburnya. Dengan mata terpejam, gadis cantik yang belum pernah berpacaran itu pun menjerit kencang, “Kakek! A-aku... oohh... aahh!” Adinda mendesah panjang saat mencapai puncak.

Dewo bisa merasakan tubuh gadis itu menegang dan kemudian terkulai lemas, sementara dari liang memeknya mengalir cairan bening yang amat banyak. Tertawa mengekeh, Dewo mencabut kontolnya dan ganti mengarahkan benda panjang itu ke mulut Adinda. Gadis itu nampak tersenyum puas dan langsung melumat serta menciumi kontol Dewo dengan penuh nafsu. Padahal kontol itu penuh oleh lendir dan darah kental, tetapi Adinda dengan tanpa jijik menjilatinya.

Sementara itu, tidak jauh dari tempat mereka, tampak Kyai Kholil yang sedang menggenjot memek Rohma, putri kandungnya sendiri, terengah-engah dan mendesis-desis karena dilanda birahi. Sambil menggenjot, terlihat tangan imam masjid itu tak pernah lepas dari payudara montok anaknya.

“Auw! Jangan digigit!” teriak Dewo saat mulut Adinda membekap ujung kontolnya.

“Habis aku gemes banget, Kek,” gadis itu tersenyum. Dia terus memacu dan menggerak-gerakkan kontol Dewo di dalam mulutnya hingga membuat kontol itu jadi seperti diremas-remas.

Sungguh kenikmatan yang begitu luar biasa, sampai akhirnya, setelah berkali-kali memompa, Dewo mulai merasakan sudah waktunya bagi dia untuk menembakkan spermaku. Maka ia percepat genjotan kontol itu dan kemudian ditekannya sedalam mungkin saat cairannya pejuhnya meledak keluar.

“Croot... crooot... crooot...” Dewo melepaskan cairan kental itu hingga memenuhi seluruh kerongkongan Adinda, membuat si gadis mau tak mau harus menelannya.

Pada saat yang sama, Kyai Kholil juga menjerit puas. Ada sekitar enam kali puncratan spermanya yang mengisi liang memek Rohmah. Mereka terdiam sejenak, keempat orang itu hanya saling berpelukan untuk menikmati dahsyatnya persetubuhan terlarang ini.

Tak jauh dari tempat itu, tepatnya di kamar sebelah, Nyai Siti juga selesai menghela pantatnya. Kontol Bayu yang tertelan di sana nampak berkedut-kedut saat memuntahkan isinya yang terakhir.

“Ahh, akhirnya!” wanita itu mendesah tertahan karena kembali ikut orgasme untuk yang ke sekian kalinya.

***

"Hei, kamu bisa dengar suaraku?” tanya Dewo pada Bayu yang kini sudah terduduk lemas di ranjang. Tubuhnya sudah tidak lagi diikat karena pemuda itu sama sekali tidak melawan. Seiring dengan spermanya yang terkuras habis, maka kini aipun sudah sepenuhnya dikuasai oleh Dewo.

Bayu mengangguk, dan Dewo langsung terkekeh lantang. “Bagus, bagus,” dia menepuk-nepuk pundak pemuda itu.

Bagai kehilangan nyawa, Bayu sama sekali tidak merespon. Matanya memang terbuka, tetapi pandangannya nampak kosong. Dia bagai mayat yang dihidupkan kembali.

Malam sudah semakin larut. Semua orang berkumpul di kamar itu untuk menyaksikan kejatuhan Bayu, kecuali Rohmah yang harus mengantarkan Adinda pulang kembali ke rumah. Gadis itu tidak sanggup untuk berjalan sendiri setelah diperkosa Dewo habis-habisan.

“Sekarang bagaimana?” tanya Nyai Siti. Tubuhnya masih telanjang, hanya handuk kecil yang ia gunakan untuk menutupi pinggul dan selangkangannya, sedangkan bongkahan payudaranya tetap ia biarkan terburai keluar menjadi santapan orang-orang. Tapi tak mengapa, toh semua juga sudah pernah melihatnya. Tidak ada rahasia lagi di keluarga ini.

Dewo menatap Bayu. “Anggukkan kepalamu kalau kau mengerti perintahku,”

Pemuda itu menggerakkan lehernya, mengangguk.

“Bagus!” Dewo tersenyum. “sekarang dengar; besok kau harus membantuku mendapatkan Salamah. Bawa dia kemari, bagaimana pun caranya. Di sini dia akan kuentoti. Aku penasaran, kenapa gadis itu sulit sekali kutaklukkan,”

Nyai Siti menunggu reaksi Bayu, namun pemuda itu diam saja. “Hei, kau dengar apa kata Pak Dewo?!” hardiknya garang.

Bayu mengangguk tanpa ekspresi dan menyahut, “Akan kulakukan, bahkan bila harus berkorban nyawa!”

Semua orang yang ada di kamar itu pun tertawa penuh kemenangan, tak terkecuali Kyai Kholil, yang pasti akan mendapat jatah mencicipi tubuh montok Salamah begitu Dewo puas.
============================================================================
============================================================================
============================================================================
Pelan Dewo melangkah menuju kamarnya yang berada di belakang rumah Kyai Kholil, dan kemudian merebahkan diri di atas ranjang yang tidak seberapa besar. Malam itu dingin, tapi Dewo hanya menggunakan celana kolor dan bertelanjang dada saja. Tak lama, lelaki tua itu pun terlelap dalam tidur tanpa mimpi.
Di dalam rumah, Nyai Siti yang baru selesai mandi, mendapati suaminya juga sudah tertidur lelap. Hampir tak bersuara karena tak ingin membangunkan, Nyai Siti mengganti lilitan handuk yang membalut tubuh sintalnya dengan memakai jubah panjang serta menggelung rambutnya yang masih basah, lalu dia memakai jilbab lebarnya dan kemudian melangkah keluar dari kamar.
Di ruang tengah, dia melihat Rohmah yang baru pulang mengantar Adinda, teman sekelasnya yang tadi diperawani oleh Dewo.
“Abi tidur ya, Mi?” tanya gadis itu.
“Iya,” Nyai Siti mengangguk. “Wiwik mana?”
“Mbak juga sudah tidur.. terus kakek Dewo kemana, Mi?” tanya Rohmah kepada ibunya.
“Kakek dewo ada di kamarnya,” jawab Nyai Siti, lalu berbalik.

“Ummi mau ke mana?” tanya Rohmah mencegat.
“Ummi mau menemani paman Dewo yang kecapekan. Katanya minta dipijit,” kilah Nyai Siti kepada sang anak.
“Aku ikut ya, Mi,” rengek Rohmah yang tadi belum sempat mencicipi kontol panjang Dewo.
Tapi Nyai Siti buru-buru mencegah. “Jangan,” Setelah seharian sibuk mengerjai Bayu, dia jadi kangen pengen ngentot sama Dewo. “kata paman Dewo, biar ummi saja. Sudah sana tidur, besok sekolah.” lanjutnya tanpa mau dibantah.
Tak berkata-kata lagi, Rohmah pun kemudian melangkah masuk ke kamarnya. Sementara Nyai Siti lekas pergi ke belakang rumahnya menuju kamar Dewo. Setelah melintasi halaman yang tidak begitu luas, dia membuka kamar Dewo tanpa perlu repot-repot mengetuknya. Berjinjit dia melangkah ke dalam dan kemudian mengunci pintunya agar tidak ada yang mengganggu.
Nyai Siti tersenyum melihat pejantannya itu tidur sambil mendengkur, maklum hari ini Dewo ngentot hampir lima kali. Lubang perawan Adinda benar-benar merangsang nafsu birahinya.
Pelan Nyai Siti naik ke atas ranjang Dewo sambil menatap kagum akan kejantanan Dewo yang walaupun sudah kakek-kakek tapi bertenaga prima bagai kuda. Dengan lembut dia mengecup mesra kening Dewo seperti kekasih.
Merasakan kecupan itu, Dewo membuka matanya dan berkata, “Nyai, aku...”
Belum sempat meneruskan kata-kata, Nyai Siti sudah menutup mulut Dewo dengan menggunakan jari telunjuknya. ”Mas Dewo tidur saja. Aku akan menemanimu malam ini, tidak peduli kontolmu ngaceng atau tidak. Karena hanya dengan mencumbumu, aku sudah terangsang dan orgasme,” kata Nyai Siti di telinga Dewo.
Kakek itu pun tersenyum, “Tolong ambilkan aku obat di meja.”
Nyai Siti beranjak untuk mengambil pil kecil yang berbentuk seperti kelereng, juga segelas air putih. “Ini, mas.” Nyai Siti memberikannya pada Dewo yang menerima sambil tersenyum.
“Obat ini akan membuatku segera tidur seperti orang mati dan besok baru bisa bangun,” kata Dewo menjelaskan.
“Nggak apa-apa, mas Dewo. Lontemu ini akan tetap menemanimu walaupun kamu tertidur sampai besok pagi, dan aku puas bisa mencumbumu saat kamu tertidur,” kata Nyai Siti.
Setelah meneguknya, tak berapa lama kemudian, Dewo pun tertidur bagaikan mayat. Nyai Siti yang melihatnya segera beraksi. Cepat dia melepas jubah dan juga beha serta celana dalamnya. Dengan bertelanjang bulat, hanya menyisakan jilbab untuk menutupi tubuhnya yang sintal, dia naik ke tempat tidur. Nyai Siti mengikatkan ujung jilbab ke lehernya agar tidak mengganggu.
Pengaruh obat itu ternyata membuat Dewo benar-benar tertidur layaknya orang mati. Betapa pun Nyai Siti meraba serta menjilat-jilat tubuhnya, Dewo sama sekali tidak merasakan. Tapi Nyai Siti yang sudah kadung bernafsu terus melanjutkan aksinya dengan melumat bibir hitam Dewo, juga menjilati seluruh muka dan telinga laki-laki itu. Kemudian dia bergerak turun menyusuri leher Dewo yang sudah keriput, bahkan tak cuma mencium, Nyai Siti juga mencupanginya rakus.
Selanjutnya dada Dewo yang jadi sasaran. Selain menjilat, Nyai Siti juga menghisapi kedua pentil Dewo seperti kehausan. Tidak hanya itu, dia juga memamah ketiak Dewo yang bau keringat dan mengelamuti setiap jari-jari tangan laki-laki tua itu ke dalam mulutnya.
Jilatan dan hisapan Nyai Siti terus turun, kali ini selangkangan Dewo yang menjadi tujuannya. Kontol Dewo masih nampak lunglai, tapi besarnya sama seperti burung Kyai Kholil yang tengah tegang. Nyai Siti memainkannya sejenak, mengocok serta menjilat-jilatnya hingga benda yang tadinya tertidur itu perlahan mulai menggeliat bangun dan menampakkan bentuk yang sebenarnya.
Masih dalam kondisi setengah tengang, Nyai Siti kemudian meninggalkannya. Itu bisa dilanjut nanti, pikirnya. Dia kini turun ke arah paha Dewo, lalu ke betis, dan akhirnya berhenti di jari-jari Dewo yang kapalan dan berkuku hitam. Satu per satu Nyai Siti menjilatinya, memasukkannya ke dalam mulut, mengomotinya hingga jari kaki Dewo jadi basah semuanya.
Selanjutnya Nyai Siti membalik tubuh Dewo agar tengkurap. Aksi yang sama kembali ia lakukan; dijilatinya leher belakang Dewo, lalu punggungnya, juga bokong dan paha, dan ditutup dengan memainkan lidahnya di anus Dewo sebagai hidangan terakhir.
Setelah puas dan seluruh tubuh Dewo basah oleh air lurnya, dengan kelelahan Nyai Siti membalikkan tubuh Dewo agar telentang. Kembali dicoba merangsang kontol laki-laki itu agar tegang sempurna, tapi tak berhasil. Kontol Dewo tetap meringkuk nanggung, tidak akan bisa kalau digunakan untuk menusuk memek.
Tapi bukan Nyai Siti namanya kalau kekurangan akal; dengan nafsu di ubun-ubun, istri Kyai Kholil itu tetap menaiki tubuh kurus Dewo. Lalu meremas dan menggesek-gesekkan kontol Dewo ke permukaan memeknya yang terasa gatal. Dia juga meremas-remas buah dadanya sendiri, sampai akhirnya orgasme dan terlelap tidur sambil mengemut kontol Dewo seperti bayi.

***

Seperti biasa, Dewo selalu terbangun sekitar pukul lima pagi saat Rohmah sedang menyapu halaman belakang rumah Kyai Kholil. Dewo membuka mata dan dilihatnya Nyai Siti sudah tidak ada, mungkin perempuan itu sudah pergi ke masjid bersama Kyai Kholil. Dewo bangkit dan memakai celana kolornya.
Masih bertelanjang dada, dia mengambil sebatang rokok kretek dan menyulutnya dengan korek, kemudian melangkah keluar dari dalam kamar. Obat yang tadi malam ia minum membuat badan dan staminanya kembali seratus persen, dan siap untuk mengentoti wanita lagi.
Rohmah tersenyum saat melihatnya keluar dari kamar. “Kakek sudah bangun?” sapanya ramah sambil terus menyapu.
Dewo yang sudah merasa segar bugar, langsung menghampiri gadis itu. “Sini, lonteku.” Dia menggandeng lengan Rohmah dan diajaknya menuju ke bawah pohon sawo.
Rohmah pun hanya menurut saja ketika Dewo menyuruhnya agar berjongkok dan seperti tahu kebiasaan Dewo, Rohmah langsung membuka mulutnya. Mengangguk puas, Dewo buru-buru mengeluarkan kontol dari balik celana kolornya dan pelan-pelan mulai kencing di mulut gadis itu.
“Hmmh,” Rohmah berusaha menadahi semuanya, tapi beberapa tetap ada yang terciprat ke muka serta belahan jilbabnya.
“Bagus!” Dewo berkata puas.
Setelah selesai kencing, dia kemudian menyuruh Rohmah untuk menungging dan berpegangan pada pohon sawo. Dewo lalu menaikkan jubah gadis itu dan memelorotkan celana dalamnya. Sambil meraba-raba bongkahan payudara Rohmah yang terasa mengganjal lembut, kontol besarnya langsung menghujam memek gadis itu tanpa pemanasan.
“Aghhhh...!!” erang Rohmah, antara suka sekaligus juga kesakitan.
Tak mempedulikan jeritan itu, Dewo terus memaju-mundurkan kontolnya sampai akhirnya Rohmah orgasme. Tapi Dewo masih belum selesai, dan kembali menggoyang lagi. Kurang lebih lima belas menit kemudian, Rohmah berteriak lagi. Nikmat orgasme kembali menghajar tubuh indahnya, begitu nikmat sekaligus juga bikin lemas, bahkan kakinya sampai bergetar dan pegangannya pada batang sawo hampir terlepas.
Dewo buru-buru menyangga tubuh gadis itu agar tidak sampai jatuh. Rohmah mengernyit heran saat Dewo kemudian menarik kontolnya dan memasukkannya kembali ke balik celana.
“Lho.. kenapa, Kek? Kakek kan belum?” tanya Rohmah.
Tapi Dewo malah menyuruh gadis itu agar menaikkan celana dalamnya. “Buat nanti aja, hari sudah siang.”
“Atau aku emut saja?” tawar Rohmah, karena Dewo biasanya suka muncrat di dalam mulut.
Tapi Dewo kembali menggeleng, “Kamu mandi saja sana.”
Rohmah terpaksa mengangguk. “Terima kasih, Kek. Sudah memberi aku entotan nikmat di pagi ini,” katanya puas.
 “Sama-sama, lonteku.” jawab Dewo sambil memandangi Rohmah yang berlalu pergi, masuk ke dalam rumah.
Dewo ikut masuk, dia duduk di dapur. Alasannya tiba-tiba tidak mood melanjutkan persetubuhan dengan Rohmah adalah pikiran tentang Bayu. Dia akan menggunakan pemuda itu untuk menaklukkan Salamah, tapi bagaimana caranya? Dewo masih bingung karena dia bertekad akan mengentot Salamah dengan brutal tanpa ampun sampai beberapa hari, itu sebagai balasan karena Salamah sangat sukar sekali untuk dipelet.
Tapi masalahanya, orang tua Salamah pasti akan mencari kalau anak gadisnya yang cantik itu tidak pulang selama beberapa hari. Masih sambil berpikir, Dewo membuka tudung saji di meja makan dimana di sana sudah tersedia sarapan pagi serta kopi hitam bikinan Nyai Siti. Dia menyeruputnya pelan-pelan.
Pintu kamar terbuka dan Wiwik berjalan keluar, wajahnya masih nampak mengantuk. Melihat Dewo, dia tersenyum. “Selamat pagi, Kek,” sapanya riang.
“Eh, kamu antarkan teh ini pada Bayu,” Dewo berkata sambil menyerahkan segelas teh.
Wiwik menerimanya sambil berbisik, “Tapi aku minta pejuh kakek dulu ya, boleh nggak?” rengeknya.
Dewo dengan santai berdiri kemudian berkata, “Kalo minta pejuh, bisa-bisa teh itu keburu dingin. Sini buka mulut kamu, aku mau kencing lagi.”
Wiwik tersenyum dan tanpa disuruh dua kali langsung berjongkok di depan Dewo. Santai Dewo mengencingi mulut gadis itu, juga muka dan seluruh wajahnya. Setelah puas, dia menyuruh Wiwik untuk membersihkan lubang kencingnya dengan menjilatinya lembut.
“Sekarang antar teh ini, usahakan Bayu menghabiskan semuanya.” Dewo berkata.
Wiwik segera melaksanakan perintah itu.

***

Ketika pertama kali terbangun, Bayu tidak tahu di mana dia berada atau apa yang telah terjadi padanya. Dia menyingkirkan selimut yang ... lho, kenapa tubuhnya telanjang? Bayu nampak kaget, tapi tak mengetahui jawabannya. Menggaruk-garuk rambut, dia pun duduk di tepi dipan.
Dia mengusap mata, lalu menatap wajah perempuan muda yang memasuki kamar. Hari masih pagi. Wiwik berdiri sambil tersenyum di depannya dan menawarinya teh dingin, yang langsung dihabiskan Bayu dengan rakus. Dia sama sekali tidak curiga kalau ada pelet Dewo di dalam teh itu.
“Dia sudah bangun?” Seorang gadis yang lebih muda ikut masuk sambil membawa sepiring nasi. Ada juga taburan pelet Dewo di dalam makanan itu.
Tanpa membantah, persis seperti orang bodoh, Bayu menyantap apa yang diberikan dengan lahap.
“Lihat betapa laparnya dia,” kata Wiwik.
“Tapi masih tetap ganteng,” sahut Rohmah.
“Jadi tak sabar pengen lekas merasakan kontolnya,” Keduanya tertawa begitu Wiwik selesai berkata, dan dengan terkagum-kagum mereka mengamati batang kontol Bayu yang masih setengah ngaceng.
“Gede, tak kalah dengan punya kakek Dewo,” Rohmah mendesis.
“Hss... jangan berkata begitu.” Wiwik menyela, “Kalau sampai kakek tahu, bisa-bisa kamu nggak dikasih jatah,”
“Eh... jangan!” seru Rohmah menyesali.
“Makanya, hati-hati kalau ngomong.” Keduanya kemudian terdiam.
“Kapan kita diijinkan memakai dia,” Rohmah menunjuk Bayu dengan sorot matanya.
“Entahlah, sepertinya nunggu Salamah bergabung dengan kita,”
“Lama donk,” Rohmah berkata muram.
“Sebentar kok,” Wiwik berusaha menghibur. “Kata kakek Dewo, ritualnya sudah hampir sempurna. Mbak Siti sudah menguras seluruh penangkal Bayu, dan kakek Dewo sudah memasukkan semua pengaruhnya. Mungkin sehabis makan siang, Bayu sudah siap untuk disuruh merayu Salamah.”
“Di saat kakek Dewo bersenang-senang dengan Salamah, kita bisa sepuasnya ngerjain Bayu.” Rohmah tersenyum.
“Pastinya begitu,” Kedua gadis itu tertawa.
“Hei, kalian ngapain?” tegur Nyai Siti yang melongokkan kepala di celah pintu. Pundaknya kelihatan bening, rupanya dia akan mandi dan hanya mengenakan handuk saja untuk membalut tubuhnya yang sintal.
“Eh, Ummi. Enggak, nggak ada apa-apa,” Rohmah menggeleng.
Sedangkan Bayu merasakan darah mendadak mengalir dalam pembuluh darahnya. Dia mengenali Nyai Siti, samar-samar dia teringat wajah perempuan itu. “Kau...” Bayu ingin menegur, tapi merasa ragu dalam ketidakpastian. Yang kemarin itu, apakah benar-benar terjadi atau hanya sebuah mimpi?
Bayu mencoba menggali ingatannya, tapi yang bisa ia dapat hanya wejangan seorang pria tua yang mengaku bernama Dewo. Dia tahu harus mematuhi pria itu, apapun yang terjadi. Tanpa membantah dan tanpa bertanya-tanya. Selebihnya, Bayu tidak ingat. Bahkan namanya sendiri pun ia lupa.
“Siapa kalian, dan di mana aku?” Bayu bertanya ragu.
Gadis-gadis kini duduk mengelilinginya, bahkan termasuk juga Nyai Siti. “Kamu aman di rumahku. Kemarin paman Dewo menemukanmu pingsan di sawah, jadi dia langsung membawamu kemari.”
“Di mana dia? Aku ingin mengucapkan terima kasih,” Bayu memandang gadis paling muda, yang adalah Rohmah.
“Sebentar lagi dia kemari,” jawab Nyai Siti. “Sekarang istirahatlah, tubuhmu masih lemas,”
Bayu terdiam, “Kenapa aku... telanjang?” tanyanya kemudian.
“Itu karena... emm... nanti tanya saja pada paman Dewo,” Nyai Siti tersenyum untuk menutupi kebingungannya.
“Dari mana asalmu?” Rohmah bertanya.
Bayu tidak langsung menjawab. Setelah berpikir lama, dia kemudian menggeleng, “Entahlah, bahkan aku juga lupa siapa namaku.”
“Bayu,” Nyai Siti menepuk bahu pemuda itu. “Namamu adalah Bayu, sempat kau bisikkan semalam selama kamu pingsan.”
Gadis-gadis tertawa, tahu kalau Nyai Siti lah yang membuat Bayu tak sadar dengan terus-menerus menguras spermanya sepanjang malam. “Emm, aku mau bersiap-siap dulu,” Rohmah pamit duluan, disusul kemudian oleh Wiwik.
“Emm... terima kasih makanannya,” jawab Bayu sopan.
“Itu Rohmah, anakku,” Nyai Siti memperkenalkan, “dan yang satunya Wiwik, adikku.”
Bayu mengangguk tanda mengerti, sedangkan kedua gadis hanya tersenyum saja. Di depan pintu, mereka bertemu dengan Kyai Kholil yang baru pulang dari sholat subuh di masjid. Ternyata lelaki itu pergi sendirian, sedangkan Nyai Siti tertidur pulas di kamar dan baru bangun untuk mandi.
“Dia sudah sadar?” tanya laki-laki itu.
“Sudah, bang,” jawab Wiwik, lalu buru-buru menepis tangan Kyai Kholil yang meraba bulatan dadanya. “Aku mau mandi dulu, bang.” katanya sambil buru-buru menyingkir.
“Di mana Ummi-mu?” tanya Kyai Kholil pada Rohmah yang ikut-ikutan pergi karena tak ingin terlambat ke sekolah gara-gara dientoti sang ayah di pagi buta.   
“Di kamar Bayu,” Bersama dengan Wiwik, Rohmah buru-buru pergi ke kamar mandi.
Menghela napas kecewa, Kyai Kholil melangkah gontai ke kamar belakang. Nafsunya terpaksa harus dipendam dulu. Di dapur, dia bertemu dengan Dewo yang sedang menyeruput kopi panas.
“Pagi, paman,” Kyai Kholil menyapa, yang disambut anggukan ringan oleh Dewo.
“Kamu awasi si Bayu, ikat kalau perlu. Peletku kepadanya masih belum sempurna,” Dewo berkata. “sangat berisiko kalau melepaskannya sekarang. Siapa tahu, begitu melihat Salamah, dia jadi kembali ingat semuanya.”
Kyai Kholil mengangguk. “Baik, Paman.”
Dia segera pergi ke kamar Bayu, tapi langsung berhenti begitu membuka pintunya. Tampak di sana Nyai Siti tengah asyik mengemut kontol Bayu dengan begitu nikmatnya. Penis pemuda itu mengacung keras, nampak besar dan kaku saat bergerak di dalam mulut Nyai Siti. Tangan Bayu sudah terikat ke ranjang hingga ia tidak dapat bergerak.
“Oghh... Nyai! Enak! Terus!” rintih pemuda itu dengan mata tertutup rapat.
Nyai Siti meneruskan aksinya sambil menungging. Handuk memang masih melingkar menutupi tubuhnya yang sintal, tapi karena sudah tersingkap hingga ke perut, alhasil Kyai Kholil yang menatap dari belakang dapat melihat bokong serta belahan memeknyai dengan begitu jelas. Selangkangan Nyai Siti nampak basah dan merekah akibat tusukan kontol Dewo, terlihat sangat mengundang bagi Kyai Kholil yang nafsunya sudah di ubun-ubun. Maka lekas ia mendekati sang istri dan meraba-raba bokong, paha, anus, serta memek Nyai Siti sambil mulai mencopoti baju serta kain sarungnya.
“Eh, Abi,” Nyai Siti menoleh sambil terus mengulum kontol Bayu. Tapi begitu tahu kalau suaminya akan telanjang, dia buru-buru mencegah. “Jangan, Bi. Nanti ritual paman Dewo bisa terganggu. Untuk saat ini, hanya Bayu dan paman Dewo yang boleh memasuki memekku.”
“Tapi aku suamimu,” Kyai Kholil memprotes.
“Aku tahu, tapi coba tahan sebentar.” Nyai Siti berusaha tersenyum. “Apa Abi nggak pengen mencicipi tubuh Salamah?”
Mendengar nama anak Haji Tohir itu disebut, Kyai Kholil pun mundur. Mungkin tak ada salahnya bersabar sejenak, toh imbalannya memang begitu menggiurkan. Kontolnya yang gatal ini pasti akan terasa nikmat saat dimasukkan ke dalam memek Salamah yang pasti masih sempit dan legit karena tak pernah digunakan, meskipun itu berarti dia harus menerima sisa-sisa Dewo.
 “Dia masih belum boleh keluar,” tunjuknya pada Bayu. “Ritualnya masih harus disempurnakan lagi.”
“Iya, aku tahu,” Nyai Siti mengangguk mengerti. “Itulah kenapa aku bersamanya sekarang,” lanjutnya sambil terus mengemut kontol panjang Bayu.
Si pemuda hanya bisa meringis saja tanpa pernah sanggup memprotes. Selain karena merasa nikmat, ada satu hal dalam dirinya yang menyatakan kalau protes itu salah, sangat dilarang, dan hasilnya akan tidak bagus. Bayu tidak menyadari kalau pelet Dewo lah yang berkata demikian.
“Hhh... ughhh!!” jadi dia pun hanya mengerang saja, menikmati semuanya, dan tak lama sudah menumpahkan sperma ke dalam mulut Nyai Siti.
Nyai Siti meludahkan cairan itu dan memandanginya, “Bagus, tinggal sedikit lagi.” lirihnya melihat bentuk sperma Bayu yang encer dan begitu bening, hanya tersisa selarik warna putih di sana. Begitu jadi 100% bening, saat itulah pelet Dewo bisa dikatakan sempurna.
Kyai Kholil memandangi Nyai Siti saat menjilat kembali cairan itu dan menelannya tanpa ragu. “Pejuh remaja memang nikmat!” kata Nyai Siti sambil dengan gemas menyantap juga ceceran sperma yang tersisa di ujung kontol Bayu, lalu meneguknya dengan lapar.
Dewo tersenyum saat melihat Kyai Kholil yang keluar dari kamar dengan langkah gontai dan mimik muka lesu. Tonjolan di balik sarungnya nampak masih tinggi, tanda kalau dia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Nanti siang,” Dewo berkata lirih. “tunggu sampai nanti siang,”
“Kenapa begitu lama?” Kyai Kholil bertanya.
“Bayu bukan orang sembarangan, guruku sudah melatih dia dengan baik. Perlu ritual khusus untuk menyingkirkan tameng di tubuhnya, lalu menanamkan lagi yang baru.” jawab Dewo.
“Apa sudah pasti berhasil?” tanya Kyai Kholil.
“Kau meragukan kemampuanku?!” hardik Dewo garang.
“A-aku... tidak berani,” Kyai Kholil menggeleng dan buru-buru masuk ke dalam kamarnya.
Dewo memandangi kepergian laki-laki itu sambil tertawa terbahak-bahak. Tak lama, Nyai Siti keluar. “Bagaimana Bayu?” Dewo bertanya.
“Dia sedang tidur,” jawab Nyai Siti, “mungkin kurang tiga kali sepongan lagi, ritual kita tuntas.”
“Ingat,” Dewo menyela. “Yang ketiga harus pake memek, jangan cuma diemut saja. Memekmu harus menjadi perantara antara aku dan Bayu.”
“Paman akan menusuk bokongku, sementara Bayu memakai memekku. Benar begitu?” tanya Nyai Siti senang, terlihat tak sabar ingin segera merasakannya.
Dewo mengangguk sebagai jawaban. “Kamu sanggup kan ditusuk depan dan belakang?”
“Apapun yang paman minta,” jawab Nyai Siti sambil menggelayut manja di lengan Dewo. Tangannya kembali meraba-raba kontol laki-laki itu, ingin membangunkannya.
“Lonteku, kamu mandi dulu sana. Baumu menyengat,” kata Dewo.
“Nggak pengen satu kali lagi?” pancing Nyai Siti sambil melepas lilitan handuknya, memamerkan tubuhnya yang sintal menggoda pada laki-laki itu.
Dewo tertawa terkekeh, ”Tubuhmu memang selalu bikin ngaceng, tapi aku harus mengumpulkan tenaga untuk ritual nanti siang.”
Nyai Siti mengangguk paham, dan tanpa disuruh lagi ia pun kemudian pergi ke kamar mandi. Kebetulan Wiwik dan Rohmah juga sudah selesai hingga ia pun bisa langsung masuk. Dewo sendiri sebenarnya baunya sangat menyengat karena sudah dua hari tidak mandi. Namun justru bau badan yang seperti itulah yang paling disukai oleh para wanita yang sudah ditaklukkan olehnya.
Dewo meneruskan merokok sambil menyantap ubi bakar yang disiapkan oleh Wiwik, dia terus berpikir bagaimana caranya untuk menaklukkan Salamah. Setelah habis dua batang, barulah terbersit ide untuk menggunakan Wiwik sebagai umpan. Dewo yang tahu kalau Salamah tergila-gila pada Bayu yang pernah menolongnya, akan mengarang sebuah cerita.
Dewo ingin Wiwik membawa pesan kepada Salamah bahwa Bayu pengen ketemu. Dan kepada orang tua Salamah, Dewo ingin agar Wiwik berbohong meminta tolong agar ditemani oleh Salamah ke rumah saudaranya selama beberapa hari.
Sepertinya rencana itu cukup masuk akal dan bisa dilaksanakan, sekarang tinggal menyampaikannya pada Wiwik. Setelah menghabiskan rokoknya, Dewo buru-buru memanggil Wiwik yang baru saja selesai berganti pakaian, siap untuk berangkat ke sekolah.
“Lonteku, sini dulu sebentar... aku ada perlu,” kata Dewo.
“Katakan, kek,” Wiwik mendekat.
Dewo segera mengutarakan idenya, dan terlihat Wiwik menyanggupinya. “Tentu aku mau melakukannya, Kek. Tapi aku mau dientot dulu sama kakek,” kata Wiwik sambil tersenyum genit.
Dewo yang merasa ditekan, tanpa bisa menawar segera menarik tubuh gadis muda itu dan memagut bibirnya rakus. Tubuh Wiwik berbau harum oleh sabun dan juga parfum.
Wiwik membalas dengan melepas kaos Dewo dan langsung menjilati serta menciumi leher laki-laki tua itu, kemudian menghisap dan menggigit pentilnya. Tak lama Wiwik juga memelorotkan celana Dewo dan dengan penuh nafsu mengulum serta menjilati kontol laki-laki itu, semua dimasukkan ke dalam mulutnya, bahkan hingga menyentuh ujung tenggorokannya.
Dewo yang terbakar oleh gairah dan juga mengingat Wiwik yang menekan minta dientot, segera memegangi kepala gadis itu yang berbalut jilbab. Dengan hentakan keras dia memaju-mundurkan kontolnya sampai teggorokan Wiwik terasa sesak, bahkan sampai air liurnya keluar banyak dan tersedak-sedak.
Puas menikmati mulut Wiwik, Dewo kemudian menyuruh adik Nyai Siti itu berdiri. Dan breettt... breet... breeettttt...!!! Dia melepas jubah, celana dalam dan juga bh gadis muda itu, hanya jilbabnya saja yang disisakan. Tindakan Dewo yang menjurus kasar sampai menyebabkan luka bilur di selangkangan dan punggung Wiwik akibat gesekan celana dalam sama bh nya, tapi gadis itu nampak tidak keberatan.
“Auhhh...!!!” Wiwik memang sempat menjerit, tetapi Dewo dengan kasar langsung merobohkannya ke meja makan dan menjejali memeknya dengan batang penis.
Tanpa ampun Dewo menusukkan kontolnya dalam-dalam sampai menyundul dinding rahim Wiwik. Hanya dalam hitungan detik, dengan kontol Dewo yang mengobrak-abrik kasar, beberapa kali sudah Wiwik orgasme. Namun Dewo masih belum terlihat puas.
“Berbalik, Nduk,” Dewo berkata, dan kemudian mencoblos anus Wiwik tanpa ampun sampai lecet karena tidak dilumasi, sehingga ada sedikit noda darah yang menempel di sana.
“Hhh... kakek! Ughhh...” erangan, desahan nikmat akibat hujaman kontol Dewo di lubang anusnya membuat Wiwik terus orgasme dan orgasme lagi, bahkan sampai tidak terhitung jumlahnya.
Mereka sedikit kaget saat pintu kamar terbuka dan Rohmah keluar. “Jangan lama-lama, nanti keburu siang. Kita bisa terlambat.” kata gadis itu.
Dewo yang mendengar suara itu, menoleh dan tersenyum sambil berkata, ”Hmm... sudah cantik kau rupanya, gundik kecilku!”
“Iya, Kakekku yang kontolnya gede,” jawab Rohmah nakal.
Dewo kemudian mencabut kontolnya yang masih ngaceng dari anus Wiwik, benda itu terlihat mengacung sebesar tangan bayi. “Sudah, nanti kita lanjutkan. Kamu pasti sudah puas kan?”
Wiwik yang masih lemas segera bangun berdiri dan berkata, “Terima kasih, cintaku. Aku akan segera menemui Salamah setelah ini.”
“Baik, lonteku. Kerjakan seperti apa yang kukatakan padamu. Kalau berhasil, kamu bakal dapat nikmat dari kontolku ini.”
Sambil tersenyum, Wiwik kemudian mengenakan pakaiannya kembali dan kembali ke kamarnya untuk merapikan riasan.
“Akhirnya, sebentar lagi mbak Salamah akan jatuh ke pelukanmu, Kek. Memang seharusnya perempuan sombong yang menghina keperkasaan dan kejantanan ndoro Dewo harus dikasih pelajaran,” kata Rohmah.
“Iya, lonte kecilku yang setia,” jawab Dewo. Setelah kopinya habis, baru dia beranjak karena merasa kebelet buang air besar. Tapi di kamar mandi masih ada Nyai Siti.
Dewo tanpa sungkan langsung mengetuk pintunya. “Nyai, aku mau masuk,” katanya sambil mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci.
Nyai Siti yang sedang keramas, menoleh sambil tersenyum. “Mau ikut mandi, Paman? Ayo, kita bareng-bareng.” Dalam benaknya, Nyai Siti sudah membayangkan akan dientoti lagi oleh Dewo di dalam kamar mandi. Tapi ternyata ia salah.
“Aku mau be’ol, Nyai. Hahaha,” Dewo terkekeh, lalu buru-buru jongkok di atas jamban.
Dengan busa sabun masih menempel di tubuhnya, Nyai Siti ikut duduk di depan Dewo. Dipandanginya Dewo yang sedang mengejan pelan. Di saat dilihatnya kontol Dewo terangguk-angguk ingin kencing, ia pun buru-buru meraihnya.
“Keluarin di sini, paman,” kata Nyai Siti sambil menyiapkan mulutnya. Dia langsung berbaring di lantai kamar mandi, bersiap menerima kencing Dewo yang siap menyembur deras.
“Kamu memang lonteku yang paling pengertian,” kata Dewo, dan dengan senang hati menuangkan air seni ke muka Nyai Siti yang cantik jelita. Diguyurnya mulai dari dahi, mata, hidung, telinga, dan yang terutama mulut Nyai Siti yang menganga lebar, siap untuk menelan semuanya.
“Hmmph... aghhh,” gelagapan Nyai Siti menerimanya, tapi tetap berusaha bertahan. Setelah tetes terakhir, ia pun bangun. Busa sabun di wajahnya menghilang, berganti dengan cairan kencing milik Dewo.
Mereka tertawa bersama-sama. Sambil tersenyum, dan setengah mengejan, Dewo memberikan kontolnya pada Nyai Siti. “Emut, bersihkan semuanya.”
Nyai Siti membungkuk dan meraih benda hitam itu. Di saat Dewo sibuk memenuhi isi jamban, dia dengan penuh nafsu menghisap kontol laki-laki itu, terlihat tak peduli dengan bau kotoran Dewo yang begitu menyengat di hidung, malah sepertinya itu membuat nafsu Nyai Siti jadi berlipat ganda.
Dewo hanya tersenyum melihat tingkah laku istri Kyai Kholil itu. Dinikmatinya emutan Nyai Siti sambil sesekali ia raba tetek perempuan itu. Busa sabun yang masih menempel di sana membuatnya jadi licin dan halus, alhasil jadi menambah kenikmatannya. Dewo terus meremas-remasnya sampai ia selesai beol tak lama kemudian.
Dewo berdiri dan berkata, ”Lonteku, siram kotoranku ya.. sama bersihkan anusku juga sampai bersih. “
Tanpa diminta lagi, Nyai Siti melakukannya. Dengan rambut panjang yang masih basah oleh sampo, dia memasang aksi erotis saat Dewo menatap dirinya. Disiramnya jamban yang nampak penuh, juga disabuninya pantat Dewo untuk diceboki. Setelah bersih semua, Nyai Siti menyuruh Dewo untuk menungging. Tanpa permisi dia kemudian mulai menjilati anus Dewo dan menyedoti lubangnya yang baru saja dilewati oleh kotoran, sambil tangannya terus mengocok kontol laki-laki itu.
“Sudah, paman,” kata Nyai Siti begitu tugasnya selesai.
“Terimakasih, lonteku. Aku mau keluar sebentar, melihat-lihat situasi. Kamu teruskan menguras pejuh si Bayu.” kata Dewo sambil ngeloyor pergi.
Nyai Siti mengangguk dan kemudian melanjutkan acara mandinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Seks: Bocah Nyusu Plus Ngentot Efni

Mama Gitu Dehh 1 - 5

Tukang Kebun yang Menggarap Memekku