Anak Nakal Bab 1- 4

  • Bunda: wanita berhijab berusia pertengahan 45 tahun. meski demikian tubuhnya masih mulus terawat, payudaranya besar dan perutnya langsing. ia adalah ibu dari tokoh utama (Doni).
  • Kak Vidia: kakak perempuan Doni,. tubuhnya tidak seindah ibu dan adiknya, namun ia pintar di kampus, yg paling cantik di keluarga dan berhijab
  • Nuraini: adik perempuan Doni. tubuhnya seperti bunda dengan payudara besar. juga alim berhijab
  • Mbak Juni: asisten Bunda di toko. ia yg mengurusi pembukuan dan pajak. Enerjik, ceria & parasnya cantik. Ia sudah lama menyukai Doni. Juni itu bukan nama aslinya… nanti agan mengetahui nama aslinya di akhir cerita
  • Laura: sepupu Doni
  • Annisa: anak Laura. Doni mengira Annisa adalah kemenakannya, tapi…. (sabar … silahkan baca sampai akhir cerita)
  • Dian & Isti : istri tetangga
  • Naura: anak tetangga, berhijab
  • Erna: SPG Kosmetik Wardah, berhijab

 

Bab 1

Namaku Doni. Aku anak nomor 2 dari tiga bersaudara. Kami adalah keluarga yang alim. Ayahku sendiri seorang yang ta’at beragama. Kakakku seorang aktivis dikampus. Kami benar-benar keluarga yang religius. Aku? Aku sebenarnya kalau dilihat dari luar religius, tapi dibalik itu aku cuma anak biasa saja. Ndak sebegitunya seperti kakak perempuanku.
Kakakku bernama Kak Vidia. Adikku bernama Nuraini. Ibuku? Oh ibuku ini seorangustadzah. Aku sendiri dikatakan anak nakal oleh ibuku, aku menyebutnya bunda. Ayahku sering menasehatiku untuk tidak bergaul dengan anak-anak geng. Tapi apa boleh dikata, dari sinilah aku banyak mengenal dunia.
Memang sih, aku bergaul dengan mereka, tapi tidak deh untuk berbuat yang aneh-aneh. Walaupun aku bergaul dengan mereka tapi aku sadar koq norma-norma yang harus dijaga. Aku bahkan sangat protektif terhadap saudari-saudariku. Ada temenku yang naksir saja langsung aku hajar. Makanya sampai sekarang banyak orang yang takut untuk mendekati kakakku maupun adikku.
Menginjak kelas 2 SMA, keluarga kami berduka. Ayahku kecelakaan. Ketika pulang kantor beliau dihantam oleh truk. Ia berpesan kepadaku agar jadi anak yang baik di saat-saat terakhirnya. Kami semua bersedih. Terutama bunda. Ia selalu menyunggingkan senyumnya tapi tak bisa menyebunyikan raut wajahnya yang sembab. Otomatis setelah meninggalnya ayah, keluarga kami pun banyak berubah.
Rasanya sangat berdosa sekali aku kepada ayahku. Aku sampai sekarang belum bisa jadi anak yang baik. Namun aku berusaha untuk berubah, mulai kujauhi teman-teman gengku. Aku pun mulai membantu bunda untuk bekerja, karena warisan ayah tak bisa untuk membiayai kami semuanya ke depan. Setelah aku pulang sekolah, aku selalu menjaga toko kami. Lumayanlah bisa mencukupi kebutuhan kami. Dari pagi sebelum sekolah aku sudah harus pergi ke grosir, membeli sembako, kemudian menyetok ke toko, setelah itu aku baru pergi sekolah.
Pulangnya aku harus menjaga toko sampai sore. Begitulah, hampir tiap hari. Jadi tak ada kegiatan ekstrakurikuler yang aku ikuti. Membiayai Kak Vidia kuliah, membiayai Nuraini sekolah, bukanlah hal yang mudah. Kak Vidia bahkan untuk uang sakunya sampai rela kerja sambilan. Namun perlahan-lahan kami pun bisa bernafas lega setelah toko kami mulai besar,
walaupun begitu kami makin sibuk. Akhirnya kami pun memperkerjakan orang. Anak-anak lulusan SMK. Aku juga sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi lulus. Bingung mau kuliah ke mana. Apa ndak usah kuliah ya? Melihat bunda kelimpungan jaga toko mengakibatkan aku pun mengurungkan niatku kuliah.
Aku lulus dan adikku Nuraini masuk SMA. Dua tahun yang berat. Namun akhirnyatoko kami sudah besar, berkat ide-ide yang kami pakai tiap hari akhirnya toko ini pun besar. Jarang ada toko sembako delivery order. Bahkan tidak sampai tiga tahun kami sudah ada waralaba. Bisa beli mobil, bisa renovasi rumah dan sebagainya. Kak Vidia pun sekarang jadi tidak bingung lagi kuliahnya. Ia sempat cuti 2 semester untuk membantu usaha kami.
Itulah profil keluarga kami. Tapi tahukah kalau dibalik itu semua ada sesuatu hal yang sebenarnya menarik untuk diceritakan? Sebenarnya ini tak boleh diceritakan karena aib tersembunyi keluarga kami. Dan karena inilah hubunganku dengan kakakku, adikku dan ibuku jadi lebih akrab, bahkan aku dianggap sebagai kepala rumah tangga.
Ceritanya ini dimulai setelah 6 bulan ayah wafat. Aku saat itu benar-benar masih nakal. Menonton bokep sudah biasa bagiku. Bahkan sebenarnya, terkadang aku membayangkan begituan dengan bunda, maupun kak Vidia, atau bahkan terkadang juga dengan Nuraini. Iya, mereka semua pake jilbab, tapi hanya aku yang tahu bagaimana lekuk tubuh mereka, karena di rumah mereka membuka jilbabnya dan pakai pakaian biasa.
Awalnya aku benar-benar iseng sekali. Saat itu aku baru saja beli kamera pengintip. Bentuknya seperti sebuah gantungan kunci, berbentuk kotak kecil. Ketika ditekan tombol rahasianya, ia akan merekam selama kurang lebih 2 jam. Harganya cukup murah kalau dicari di internet, sekitar 500ribu. Aku menggantungkannya di anak kunci, sehingga ketika ke kamar mandi aku selalu mandi duluan, dan kemudian aku taruh di tempat yang bisa mengawasi semuanya. Jadi seluruh penghuni rumah, sama sekali tak curiga. Awalnya tak ada yang tahu, tapi nanti yang pertama kali tahu adalah Kak Vidia, tapi nanti aku ceritakan.
Aku meletakkan kunci itu di gantungan baju. Aku posisikan agar kameranya mengawasi seluruh ruangan kamar mandi. Yang pertama kali masuk setelah aku adalah bunda, kemudian Kak Vidia, lalu Nuraini. Setelah semuanya mandi, aku masuk ke kamar mandi untuk mengambil kamera pengintai. Aku kemudian ke kamar untuk menikmati hasilnya. Aku bisa mengetahui tubuh mulus mereka semua tanpa sehelai benang pun.
Misalnya bunda, rambutnya lurus, tubuhnya sangat terawat, langsing, dadanya besar, mungkin 34C, bahkan yang menarik beberapa minggu sekali bunda mencukur bulu kemaluannya. Kak Vidia juga begitu, kulitnya putih, rambutnya panjang, dadanya ndak begitu besar, 32B tapi putingnya yang bikin aku kaget, berwarna pink. Ini orang bule atau gimana? Tapi begitulah Kak Vidia. Ia juga sama seperti bunda, mencukur bulu kemaluannya, bahkan halus seperti bayi. Terakhir Nuraini, jangan kira Nuraini cuma anak SMP, ia ini sangat dewasa. Dadanya besar banget, sama kayak bunda 34C. Masih SMP saja dadanya gedhe, gimana klo sudah SMA nanti? Ia pun sama, punya kebiasaann mencukur bulu kemaluan. Sepertinya cuma aku saja yang tidak. Tapi bolehlahntar coba dicukur. Kayaknya lebih bersih.
Selama sebulan itu aku sering ngocok penisku di depan komputer sambil melihat adegan demi adegan di kamar mandi. Hal itu membuat aku terobsesi kepada mereka. Saking terobsesinya, aku kadang punya alasan untuk bisa menyentuh mereka, seperti mencium pipi adikku, mencium pipi bunda, terkadang juga memeluk Kak Vidia. Tapi mereka semua tak curiga. Dan satu-satunya yang membuatku kelewatan adalah memesan kloroform kepada salah seorang teman gengku. Aku pesan beberapa botol. Untuk stok pastinya. Pertama aku coba ke kucing tetangga. Ketika aku bekep pake sarung tangan yang ada kloroformnya, pingsan tuh kucing. Aku pun menghitung berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan oleh kucing ini bisa sadar. Satu jam, dua jam, tiga jam. Lama sekali.
Siapa yang ingin aku coba pertama kali? Kak Vidia ndak mungkin, ia bakal kaget nanti kalau sudah tidak perawan ketika malam pertama dengan suaminya. Begitu juga Nuraini, bisa berabe aku nanti kalau dia melapor ke bunda memeknya perih. Jadi targetku adalah bunda.

BUNDA 

Seperti biasa bunda menjaga toko waktu itu. Dan aku menyiapkan teh hangat untuk beliau. Aku berikan setetes kloroform di minumannya. Tujuanku sih agar ia pusing saja dan bisa aku suruh istirahat, baru kemudian aku bekap.
“Kamu ndak sekolah Don?” tanya bunda.
“Tidak dulu bunda, mau bantu toko dulu,” jawabku.
“Lho, jangan. Ada bunda sama mbak Juni koq. Sekolah saja!” kata bunda. Mbak Juni adalah pegawai kami. Ia ada cerita untuk nanti. Ia janda, beranak satu, tapi masih muda. Usianya baru 21 tahun. Menikah muda. Bodynya masih singset.
“Tidak mengapa bunda, Doni udah ijin koq,” kataku.
“Baiklah, tapi cuma hari ini saja ya, jangan ulangi lagi,” katanya.
Bunda lalu meminum teh hangatnya. Aku pura-pura mencatat barang-barang di toko. Mbak Juni juga melakukan hal yang sama. Dan memindah-mindahkan karung beras. Kemudian datang seorang pembeli yang langsung dilayani oleh Mbak Juni.  Efek obat mulai terlihat. Bunda memegang kepalanya. Aku pura-pura peduli,
“Kenapa bunda?”
“Entahlah, bunda tiba-tiba pusing,” katanya.
“Capek mungkin, istirahat saja bunda,” kataku.
“Iya deh, aku istirahat sebentar. Mungkin nanti bisa baikan. Mbak Juni, tolong ya!” kata bunda.
“Iya, bunda,” kata Mbak Juni.
Bunda agak terhuyung-huyung, lalu beliau masuk kamar. Aku pun menyudahi pura-puraku, kemudian pura-pura ke kamarku, tapi sebenarnya menyusul beliau ke kamarnya. Aku beri waktu sekitar sepuluh menit, hingga kemudian terdengar nafas dengkurang halus bunda. Oh sudah tidur. Aku lalu beranikan diri masuk ke kamarnya. Bunda masih pakai jilbabnya, aku siapkan kloroform ke sarungntanganku, dosisnya seperti yang aku berikan ke kucing percobaan kemarin. Dan
BLEP!
Bunda tak berontak, mungkin berontakannya tak berarti. Tangannya ingin menghalau tanganku tapi lemas. Matanya belum sempat terbuka dan ia pun sudah pingsan. Aku pun sangat senang, ini kemenangan.
Aku lalu kunci pintu kamar bunda. Biar ndak ada siapapun yang masuk. Jantungku berdebar-debar, antara senang, takut dan macem-macem rasanya. Aku duduk di sebelah bunda. Di pinggir ranjang itu aku lihat ujung rambut sampai ujung kakinya. Tanganku mulai bergerilya. Kuraba pipinya, bibirnya, aku buka sedikit, rahangnya aku turunkan hingga ia membuka mulutnya. Sesaat aku ingat ayah, tapi karena aku sudah bernafsu, rasa bersalahku pun aku tepis. Aku panggut bibir bunda. Aku hisap lidahnya. Penisku mulai tegang, bunda benar-benar tak bereaksi sama sekali, bahkan sekarang bibirnya mulai basah.
Wajah bunda sangat cantik, mungkin seperti Ira Wibowo. Bibirnya sangat lembut, tak puas aku menciumi bibir itu. Aku pun mulai meremas-remas dadanya walaupun masih tertutup gamis. Lalu tanganku mengarah ke selakangannya mengelus-elus tempat pribadinya.
Karena semakin bergairah, aku pun melepas celanaku sehingga bagian bawah tubuhku tak terbungkus sehelai benang pun. Penisku sudah mengacung tegang. Urat-uratnya mengindikasikan butuh dipuaskan. Aku arahkan jemari bunda untuk menyentuh penisku, Ohh…lemas aku. Lembut sekali jemari beliau. Aku tuntun tangannya untuk meremas telurnya, aku makin keenakan. Seandainya beliau bangun dan mau melakukannya kepadaku tentunya lebih nikmat lagi. Aku kemudian naik ke ranjang. Aku berjongkok di depan wajahnya. Penisku aku gesek-gesekkan di pipi, hidung dan bibirnya yang agak terbuka itu. Aku sangat bergairah sekali. Selain itu juga takut ketahuan. Aku buka mulutnya, lalu kucoba masukkan kepala penisku, uhhhh….nikmat banget. Walaupun tak muat, aku buka mulutnya lagi, tangan kiriku mengangkat kepalanya dan tangan kananku membuka mulutnya lebih lebar, lalu kudorong penisku masuk.
Di dalam mulutnya penisku berkedut-kedut. Nikmat sekali. Aku makin bergairah melihatnya yang masih pakai kerudung. Kuambil ponsel dan aku abadikan ketika penisku masuk ke mulutnya. Kumaju mundurkan penisku sampai mentok, walaupun giginya mengenai penisku rasanya nikmat sekali. Lucunya lidahnya bergoyang-goyang, entah ia mimpi apa, itu semakin membuatku terangsang. Pelan-pelan penisku menggesek rongga mulutnya, kemudian aku tarik keluar. sekarang aku posisikan telurku di mulutnya. Karena punyaku sudah tercukur bersih aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah bunda sedang menjilati telurku.
“Bunda, ohhh…nikmat banget,” rancauku.
Kalau terus seperti ini, rasanya aku ingin muntahkan pejuku di wajahnya. Tapi aku tahan.
“Tidak bunda, Doni ingin merasakan ini, bolehkan?” aku meraba vaginanya.
Aku kemudian melepaskan gamis bunda, kancingnya aku buka semua, hingga ia hanya memakai bra dan CD. Aku turun ke bawah. Kuciumi seluruh tubuhnya, perutnya, pahanya, aku jilati semuanya sampai basah. Bahkan mungkin tak ada satupun yang terlewat. Aku lepas BH-nya. Ohh…dada yang dulu ketika kecil aku mengempeng, sekarang aku mengempeng lagi. Aku hisap teteknya, putingnya aku pilin-pilin, kupijiti gemas. Tapi aku tak ingin memberikan cupang di dadanya, nanti ia curiga. Belum saatnya. Ketiaknya yang bersih tanpa bulu pun aku hisap, kujilati. Semuanya aku jilati. Aku pun mencium bau yang aneh, ketika aku menghisapi jempol kakinya. Dan aku lihat CD-nya basah. Bunda terangsang?
“Bunda terangsang? Mau dimasukin bunda?” tanyaku.
Aku pun segera melepaskan CDnya, Dan kuikuti aku telanjang juga sekarang. Punyaku makin berkedut-kedut dan di lubang kencingnya muncul cairan bening.Aku melihat memek bundaku tersayang. Warnanya pink kecoklatan. Inikah tempatku keluar dulu? Betapa bersihnya, ada cairan keluar. Aku segera membuka pahanya, kepalaku mengarah ke sana, kujilati, kuhisap dan klitorisnya aku tekan-tekan dengan lidahku. Intinya lidahku menari-nari di sana seperti lidah ular, menjelajahi seluruh rongga vaginya.
Setiap cairan yang keluar aku hisap, rasanya asin-asin bagaimana gitu. Aku makin bergairah dan sepertinya bunda juga bergairah, ia sangat banjir, bahkan ketika aku colok-colok dengan lidahku, lebih dalam lagi kakinya bergetar. Ia mengeluh….dan mendesis, walaupun masih tidur dan tidak sadarkan diri tapi dia merasakannya. Mungkin ia bermimpi sedang begituan. Kepalanya yang masih memakai jilbab mendongak ke atas, Dan kemudian pantatnya diangkat, tubuhnya bergetar hebat, memeknya mengeluarkan cairan yang sangat banyak, menyemprot bibirku. Aku lalu duduk.
“Bunda orgasme?” tanyaku.
Tentu saja beliau tak menjawab. Sepertinya bunda sudah siap, aku posisikan penisku di ujung vaginanya. Kepala penisku sudah ingin masuk saja. Aku tak sabar, dan….BLESSS….lancar banget, ohhhh….HANGATT….ini ya rasanya memek wanita itu. Aku lalu ambruk di atas tubuh bunda, ia kutindih. Toketnya dan dadaku berpadu, Penisku berkedut-kedut dan anehnya memeknya juga seperti meremas-remas penisku. Ngilu rasanya, tapi nikmat.
“Bunda, seperti inikah bunda rasanya ngentot?” tanyaku. Aku mengabadikan peristiwa ini ke ponselku, kuclose up wajah bunda yang tidur, vaginanya yang sekarang penisku masuk ke sana juga kuabadikan, bahkan posisiku menindih bundaku pun aku abadikan.
“Doni…ohh…puasin bunda…” terdengar suara bisikan bunda. Apa maksudnya, apakah bunda sadar?
Sejenak aku bingung, ternyata bunda memimpikan aku, bermimpi bersetubuh denganku. Itu membuatku makin bergairah. Aku kemudian menaik turunkan pantatku perlahan-lahan, menikmati saat-saat ini. Tapi aku hanya punya waktu 3 jam kurang lebih, tak ingin aku sia-siakan kesempatan ini. Kugoyang pantatku naik turun, makin lama makin cepat.
“Bunda…oh….Doni kembali masuk ke tempat bunda,” rancauku, makin lama makin cepat. Bunda aku tindih, pahanya terbuka lemas. Dan aku sepertinya akan keluar, oh sperma perjakaku….kemana ya harus keluar?
“Bunda, ke wajah bunda aja ya keluarnya….oohhh…keluar bunda!” seruku. Aku segera mencabut dan berlutut di depan wajah bunda. Penisku kuarahkan ke situ. CROOT….CROTT…CROOTTT…. Banyak sekali tembakannya, aku sudah tidak perjaka lagi. Bunda sendiri yang menghilangkannya, spermaku belepotan di wajah bunda, sebagian masuk ke mulutnya, aku terus mengocoknya hingga tetes terakhir, lalu aku bersihkan sisa di ujung penisku ke mulutnya.  Momen ini tak bisa aku lewatkan segera aku abadikan ke ponselku. Aku lalu bberbaring lemas di sampingnya.
“Bunda, nikmat bunda,” kataku. Aku peluk dia dari samping sambil memeluk toketnya.
Butuh waktu 15 menit bagiku untuk istirahat sebentar, kemudian aku bersihkan  wajahnya dengan tisu yang ada di meja riasnya. Agar tidak bau sperma aku seka wajah ibuku pakai pelembab, biar tak ketahuan. Disaat membersihkan itulah aku terangsang lagi melihat payudaranya. Aku kenyot lagi dua buah toket besar itu.
Kubenamkan wajahku ke tengah payudara, kuhisap aromanya yang harum. Aku kemudian menghadapkan tubuh ibuku miring ke tepi ranjang. Ternyata tepat di depan bundaku ada kaca lemari. Sehingga aku bisa melihat tubuhnya di sana. Penisku yang tegang lagi ingin mencari mangsa. Kuposisikan kepala penisku dari belakang pantatnya. Karena masih basah, mudah sekali penisku masuk.
SLEB…Oh…kembali kedut-kedut vaginanya. Aku angkat sebelah kakinya, sehingga aku bisa melihat dari kaca penisku masuk di sana. Aku lalu bergoyang maju mundur, kuturunkan kaki bunda, tanganku beralih ke toketnya. Pantatnya benar-benar membuatku terangsang hebat. Enak sekali.  Aku tak sadar siapa yang kusetubuhi sekarang. Yang aku inginkan adalah puncak kenikmatan. Tapi aku tetap pada pendirianku jangan keluarkan di dalam. Belum waktunya. Aku terus menggoyang pantatku maju mundur. Pantat bunda beradu dengan selakanganku. PLOK…PLOK….PLOK, bunyinya sangat menggairahkan. Dan sepertinya. Setiap kali aku ingin orgasme. Aku istirahat sebentar. Menciumi bibirnya, ketiaknya, dan menghisap putingnya. Dan akhirnya aku tak tahan lagi.
“Duh bunda, maaf ya aku keluar lagi,” aku langsung cabut penisku dan kukeluarkan di pantatnya. Spermaku masih banyak aja. Enak rasanya penisku sampai berkedut-kedut berkali-kali setiap spermaku muncrat keluar. Aku istirahat sebentar sambil mengumpulkan tenaga. Ngilu sekali penisku. Aku lalu bangkit membersihkan pantat bunda yang belepotan dengan spermaku.
Aku melihat jam dinding, oh tidak, setengah jam lagi bunda akan sadar, tak sadar aku sudah lama ngentotin bunda. Aku bergegas memakaikan lagi pakaiannya. Jilbabnya yang terkena sedikit sperma aku bersihkan juga. Aku memakaikan lagi branya, tapi entah kenapa aku terangsang lagi. Maklum masih perjaka dan ada mainan baru. Aku lalu melakukan titfuck. Dada bunda mengocok penisku, aku melakukannya sambil sesekali menengok jam dinding, masih ada waktu, aku harus cepat. Aku bantu payudara bunda untuk mengocok penisku, dan aku keluar lagi, spermaku muncrat di belahan toket bunda. Tapi jumlahnya ndak sebanyak tadi, karena mungkin sudah mulai kosong kantong produksinya. Aku segera bersihkan cepat-cepat, kuposisikan tubuh bunda seperti tadi tidur, aku berpakaian lalu keluar dari kamar bunda. Aku lalu mandi dan membersihkan diri.

BAB 2

Bunda terbangun setengah jam kemudian. Ia keluar kamar ketika aku masih menghitung stok toko. Ia menggeliat.
“Kenapa bunda?” tanyaku.
“Entahlah, bunda koq tidurnya nyenyak ya? Tapi badan bunda pegel-pegel semua.Seperti habis olahraga aja,” jawab bunda. Tapi dalam hati aku senang sekali karena tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Hari itu aku membantu menjaga toko sampai sore. Dan setelah itu aku habiskanwaktuku di kamar sambil melihat foto-foto hasil ngentotku dengan bunda tadi. Aku melakukan coli berkali-kali sampai penisku ngilu dan lemas. Malam itu aku tidur nyenyak sekali, entah berapa banyak tissu yang kuhabiskan yang jelas aku baru sadar tissue di meja kamarku tinggal sedikit sekali.
Hari-hari setelah itu aku jadi berbeda. Siang hari setelah aku pulang sekolah, aku menyiapkan teh hangat untuk bunda, kemudian pasti ia mengantuk dan tidur. Setelah itu aku pasti ngentotin beliau seperti sebelum-sebelumnya, dan kini aku tidak takut lagi seperti dulu. Tapi aku tak melakukannya setiap hari, hanya kalau ada kesempatan saja. Dan itu tidak pasti atau jarang. Kalau aku sedang kepingin saja. Kalau tiap hari bisa bikin bunda curiga. Aku ingin bercinta dengan bundaku dalam keadaan sadar, karena aku setiap ngentot dengan bundaku selalu aku dengar rintihannya memanggil-manggil aku dalam mimpinya. Ia seperti membayangkan ngentot dengan aku. Ini tanda tanya besar. Dan itu terjawab ketika aku melihat rekaman di kamar mandi pada suatu siang setelah aku pulang dari ujian di sekolah.
Aku melihat rekaman video bunda mastrubasi dengan jarinya di kamar mandi. Ia mengocok-ngocok memeknya, sambil berkali-kali memanggil namaku. Kenapa? Apakah ia mengalami “mother complex”?? Setelah ia mengeluh panjang, ia lalu menutupi wajahnya sambil menggumam.
“Kenapa dengan aku? kenapa? Apa yang aku lakukan? Kenapa aku menginginkan anakku sendiri?” DEG….betapa kagetnya aku mendengar pengakuan bundaku sendiri dari rekaman itu. Ternyata benar, bunda menginginkan aku. Aku jadi ingin saja ngentotin dia setelah ini. Obsesiku kepada ibuku sendiri makin besar. Terlebih ketika tahu bahwa bunda masih haidh, masih produktif berarti.
Malamnya bunda sedang menghitung-hitung penghasilan. Kami di rumah sendirian. Nuraini ikut mabid atau apalah namanya. Kak Vidia juga sedang nginap di kampus ada kegiatan apa gitu. Aku sedang menonton tv sambil sesekali mengamati bunda, mengamatinya saja bikin aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan tegangnya penisku.
“Bunda, bunda capek kayaknya, ndak istirahat?” tanyaku.
“Nanti dulu Don, masih kurang dikit lagi,” katanya.
“Kalau bunda capek, aku menawarkan diri untuk mijitin bunda kalau tidak keberatan,” kataku.
Bunda tersenyum renyah kepadaku. Ia kemudian masih melanjutkan pekerjaannya. Hingga kemudian acara tv selesai dan aku mematikan tv. Bunda kemudian duduk di sampingku. Aku hampir aja beranjak.
“Lho, katanya mau mijitin bunda?” tanyanya.
“Oh jadi toh?” kataku.
“Iya dong,” katanya.
Bunda kemudian membelakangiku. Aku lalu mulai memijitinya. Ia masih memakai kerudungunya yang lebar. Aku mulai memijiti pundaknya.
“Oh, enak sekali Don, pinter juga kamu memijat,” katanya.
“Siapa dulu dong,” kataku.
Aku berinisiatif kalau malam ini aku harus bisa ngentot ama bunda. Aku pun mulai pembicaraan.
“Bunda, boleh tanya?” tanyaku.
“Tanya apa?” tanyanya.
“Doni waktu itu lupa sesuatu, trus pulang lagi ke rumah. Nah, Doni mendengar bunda manggil-manggil nama Doni di kamar mandi sambil merintih, emangnya kenapa itu bunda?” tanyaku.
Bunda terkejut. Jantungnya berdebar-debar, ia bingung mau jawab apa. Ia pun bertanya balik, “Kapan itu?”
“Beberapa waktu lalu, emangnya bunda ngapain sih di kamar mandi?” tanyaku.
“I…itu…nggak ada apa-apa koq,” jawabnya.
“Tapi koq, manggil-manggil nama Doni?” tanyaku.
Bunda terdiam. Aku lalu memeluk bunda dari belakang. Dari situlah aku tahu bahwa jantung beliau berdebar-debar. Bunda lalu bersandar di dadaku. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu menutup wajahnya.
“Bunda, kalau bunda misalnya rindu sama ayah, Doni bisa mengerti koq. Mungkin wajah Doni mirip ama ayah,” kataku.
Bunda lalu terisak, kami berpelukan. Bunda bersandar di pundakku. Ia tak berani melihat wajahku. Ia terus memelukku dan aku membelai kerudungnya yang panjang. Cukup lama ia bersandar di pundakku. Sampai aku kemudian mulai memberanikan diri untuk melihat wajahnya.
“Maafkan bunda, engkau mirip sekali dengan ayahmu, dan bunda rindu dengansentuhan ayahmu,” katanya.
“Boleh Doni minta sesuatu bunda?” tanyaku.
“Apa itu?” tanyanya.
“Doni ingin mencium bunda,” kataku.
Ia tersenyum, “Boleh saja, kenapa memangnya?”
“Tapi bukan di pipi, di sini,” kataku sambil menyentuhkan telunjukku di bibirnya.
“Ah, Doni ini koq kolokan banget? Aku ini bundamu, bukan kekasihmu,” kata
bunda.
“Sekali saja bunda, Doni ingin tahu rasanya ciuman, please….sekali saja,”
kataku.
Bunda terdiam. Ia menatap wajahku. Ia mengangguk walau agak ragu. Aku senang sekali, tersenyum. YES! dalam hatiku. Aku perlahan mendekatkan wajahku, wajah bundaku tarik ke arahku dan bibirku menempel di bibirnya. Pertama cuma menempel, selanjutnya aku mulai menghisap bibir bunda. Lagi dan lagi. Dan akhirnya kami berpanggutan. Nafas bunda mulai memburu. Tiba-tiba bunda mendorongku.
“Tidak Don, tidak. Kita terlalu jauh. Kita ini ibu dan anak. Ndak boleh beginian,” katanya.
“Lalu kenapa bunda mastrubasi sambil manggil-manggil Doni?” tanyaku.
“Kamu tahu?” tanyanya.
“Iya, Doni tahu. Itu artinya bunda kepingin kan?” tanyaku. “Sampai berfantasi ama Doni.”
Ia tak menjawab. Tampaknya aku menang. Bunda sepertinya pasrah. Aku ingin coba lagi. Kupegang kedua tangannya, aku memajukan wajahku lagi, kini ciumanku disambut. Wajah kami makin panas karena gairah. Lama sekali kami berpanggutan,nafas ibuku makin memburu.
Aku lalu menarik wajahku lagi, “Kalau misalnya bunda kepingin dan tidak ada yang bisa memuaskan bunda, Doni bisa koq. Tapi jangan sampai semuanya tahu.”
“Tidak Don…hhmm…”, bibir bunda aku cium lagi sebelum selesai berkata-kata. Ia berusaha mendorongku. “Sudah Don, sudah….bunda ndak mau, ingat kita ibu dan anak.”
“Lalu kenapa bunda membayangkan dientotin Doni?” tanyaku lagi. Kucium lagi bibirnya.
“Itu…hmmmm…itu….itu karena bunda khilaf, maafin bund…hhmfff,” bunda tak kuberi kesempatan melakukan penjelasan. Kuremas-remas dadanya dari luar gamisnya. Bunda pun mendorongku lebih kuat lagi.
“Baiklah,..baiklah…bunda memang ingin kamu, bunda ingin ngentot dengan kamu, ayo ngentotin bunda! Sekarang!” katanya. “Buka bajumu!”
Aku lalu menghentikan aktivitasku. Melihat air matanya berlinang, aku mengurungkan niatku. Aku berdiri. “Maafin Doni bunda. Maaf!”
Aku mencium tangannya lalu berbalik dan masuk ke kamarku. Perasaanku campur aduk setelah itu. Beberapa kali bunda mengetuk pintu kamarku, tapi tak kutanggapi, aku pun tertidur.

***
Paginya aku bangun, kemudian ingin ke kamar mandi. Saat itulah aku dikejutkan karena ternyata bunda ada di dalam kamar mandi telanjang, bener-bener polos. Aku terkejut dan mematung.
“Doni!!??” bunda terkejut.
“Oh, maaf bund,” aku segera menutup pintu kembali. Untuk beberapa saat aku diam di depan pintu kamar mandi. “Biasanya DOni mandi duluan, ndak tau kalau bunda mandi duluan. Habis bunda ndak ngunci sih.”
“Kamu mau mandi?” tanyanya. “Masuk aja!”
“Lho, bundakan di dalam,” kataku.
“Gak papa, sama bunda sendiri koq malu?” katanya.
Aku agak ragu, tapi kemudian aku pun masuk. Bunda melirikku sambil tersenyum,
“Ndak usah malu, copot sana bajunya.”
Aku pun mencopot seluruh pakaianku. Bunda menyiram badannya di bawah shower. Terus terang hal itu membuatku terangsang banget. Penisku langsung menegang. Dan setan pun masuk ke otakku, aku melihat bundaku seperti seorang bidadari, segera aku memeluknya dari belakang, penisku yang sedang tegang maksimal menempel di pantatnya.
“Bunda, maafin Doni, tapi Doni ndak tahan lagi!” kataku. Bunda terkejut dengan seranganku. Aku meremas-remas toketnya, kupeluk erat bunda.
“Doni…sabar Don, sabar!” kata bunda.
“Tapi, aku tak mau melepaskan bunda,” kataku.
Bunda mematikan shower, kemudian membelai tanganku. Aku menciumi lehernya dan menghisapnya dalam-dalam.
“Oh, Doni…anak bunda sekarang sudah besar….,” katanya. Tangan satunya tiba-tiba menyentuh kepala penisku. Penisku yang sudah tegang itu dipegangnya, makin tegang lagi, lebih keras dari sebelumnya. Kemudian bunda mengocoknya lembut. “Kamu ingin ini kan?”
Aku mengangguk.
“Bunda tahu koq, kamu kan anak bunda,” katanya. “Lepasin bunda sebentar.”
Aku lalu melepaskan pelukanku. Bunda berbalik, tinggi kami hampir sama, tapi aku lebih tinggi sedikit. Matanya menatapku lekat-lekat.
“Bunda, mengakui punya hasrat kepada anak bunda sendiri. Bunda tidak bohong. Itu semata-mata bunda rindu dengan belaian ayahmu. Dan bunda selama ini juga takut untuk bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tapi…bunda berpikir keras, apa jadinya kalau bunda berhubungan dengan anak sendiri, itu kan tabu…tapi bunda merasa nyaman bersamamu, hanya denganmu bunda sepertinya ingin, bukan lelaki lain. Dan bunda juga butuh itu,” kata bunda sambil terus mengocok lembut otongku yang udah tegang max.
Aku makin keenakan tak konsen apa yang diucapkan olehnya, tapi ketika ia berlutut di hadapanku dan menciumi kepala penisku, aku baru yakin dan ini bukan mimpi. Bunda mengoral penisku.
“Oh bunda,” kataku.
“Bunda akan berikan sesuatu yang engkau tak pernah sangka sebelumnya,” kata bunda. Ia lalu menjilati kepala penisku. Lubang kencingku dijilati seperti kucing. Kedua tangannya aktif sekali, yang satu meremas-remas telurku yang satunya mengocok-ngocok penisku. Penisku yang sudah tegang makin tegang saja.
“Bunda,…bunda…enak sekali,” kataku.
Lidah bunda menjelajah seluruh permukaan penisku yang tanpa rambut itu. Bunda menjilati pinggiran kepala penisku, membuatku lemas saja. Lalu seluruh batangku dijilatinya. Kemudian dimasukkanlah kepala penisku ke mulutnya. Ia kemudian perlahan-lahan memaju mundurkan kepalanya. Penisku yang besar itu makin masuk ke rongga mulutnya. Ia kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku makin lemas. Lemas keenakan.
Bunda lalu mengusap-usap perutku, sesekali meremas-remas pantatku, tanganku pun secara otomatis meremas rambutnya. Kalau misalnya ini film bokep aku pasti sudah coli. Tapi ini tak perlu coli karena ada yang bertugas mengocok penisku di bawah sana. Dengan mulutnya dan oh…lidahnya menari-nari mengitari kepala penisku, aku benar-benar keenakan.
“Bunda…oh…enak banget, udah bunda, bunda….Doni…kelu…aaaaarrrr.. AAAAHHHH!” aku keluar. Spermaku tak bisa ditahan lagi. Bunda makin cepat memaju mundurkan kepalanya, penisku seperti ingin meledak dan SRETTT CROOOTTT CROOOOTTT, entah berapa kali aku menekan penisku ke kerongkongannya sampai ia agak tersedak. Spermaku banyak sekali muncrat di dalam mulutnya.
Bunda mendiamkan sebentar penisku hingga tenang dan tidak keluar lagi. Ia lalu menyedotnya hingga spermanya tidak keluar lagi. Ia lalu mengeluarkan penisku. Ia menengadahkan tangannya, kemudian ia keluarkan spermaku. Mungkin ada kalau 5 sendok makan. Karena pipi bunda sampai seperti menyimpan banyak air di mulutnya.
“Banyak banget spermamu,” Bunda lalu menciumi baunya. “Baunya bunda suka.”
Bunda lalu berdiri menyalakan shower. Membersikan mulut dan tangannya.
“Mandi bareng yuk,” kata bunda.
“I…iya,” kataku.
Kami pun mandi bersama. Pertama bunda menyabuni tubuhku. Dari dadaku, perutku,punggungku, kakiku dan penisku pun disabuni. Penisku tegang lagi.
“Ih…masih ingin lagi,” kata bunda sambil menyentil penisku.
“Habis, bunda seksi sih,” kataku.
Bunda tersenyum. “Nanti ya, habis ini.”
Aku pun bergantian menyabuni bunda. Saat itu mungkin aku bukan menyabuni, tapi membelainya. Aku jadi tidak malu lagi untuk mencumbunya. Aku menggosok tubuhnya. Punggungnya aku sabuni, ketiaknya, dadanya aku pijat-pijat,putingnya aku pelintir-pelintir, ia mencubitku.
“Anak Nakal! Ibu nanti jadi terangsang. Sebentar, sabar dulu,” katanya.
Aku tak peduli, shower aku nyalakan untuk membersihkan sabun-sabun di tubuh kami. Aku memanggut bibir bunda. Kemudian aku menetek kepada bunda, kuhisapi putingnya.
“Don, di kamar bunda aja yuk,” katanya. “Mumpung Vidia sama Nur belum pulang.”
Aku mengangguk.
Bunda mengambil handuk dan membersihkan air di tubuhnya, aku pun melakukannya. Dan agak mengejutkannya aku segera membopongnya.
“Eh…apa ini?” ia terkejut.
“Doni, ndak sabar lagi,” kataku.
“Oh…anak bunda, jiwa muda,” katanya.
Kami keluar dari kamar mandi, aku masih telanjang, demikian juga bunda. Kamilalu masuk ke kamar bunda. Segera bunda aku letakkan di ranjang, kamar aku kunci. Bunda segera mulutnya kupanggut, kuciumi lehernya, payudaranya pun aku hisap-hisap. Kuremas, putingnya aku pelintir-pelintir, kuputar-putar, bunda menggelinjang. Ia remas-remas rambutku. Kuhisap buah dadanya yang putih dan ranum itu hingga membentuk cupangan. Cupangan demi cupangan membekas di buah dadanya.
“Nak…ohh….bunda terangsang banget,” katanya.
“Bunda, ohh..”, aku menciumnya lagi.
Sekarang aku turun ke perutnya, lalu ke tempat pribadinya. Aku tak tinggal diam, segera aku ciumi, aku jilati, aku sapu memeknya yang basah sekali itu.
“Ohhhh…., Donn…..i…itu….aahhh…,” bunda menggelinjang. Kakinya terbuka aku memegangi pahanya. Kulahap habis itu memeknya, klitorisnya pun aku jilati, hal itu membuatnya menggelinjang hebat.
Nafas Bunda mulai memburu. Ia meremas-remas rambutku, ketika aku menuju titik sensitifnya ia semakin menekan kepalaku. Aku pun makin semakin menekan lidahku, hal itu membuatnya bergetar hebat.
“Don…bunda…bunda keluar…aaahhhh…..ahhhh….ahhhhhhhh!!” pinggul bunda bergetar. Sama seperti orgasme-orgasme sebelumnya. Aku pun segera bangkit, melihat reaksi bunda. pahanya menekan pinggangku. Saat itulah penisku sudah menegang, siap untuk masuk ke sarangnya.
“Bunda…bunda siap?” tanyaku.
“Masukkan…masukkan! Bunda sedang orgasme,” katanya.
Aku pun memposisikan penisku tepat di depan lubangnya, kugesek-gesek, bunda lalu mengangkat kepalanya. Matanya memutih, saat itulah pinggulnya naik dan penisku masuk begitu saja. BLESS!!!
“Ohhhh…..!” mulut bunda membentuk huruf O, menganga merasakan sesuatu yang selama ini ia inginkan. Ia memelukku, dada kami beradu dan aku memanggutnya. Bunda merebahkan dirinya lagi. Aku menindihnya. Aku peluk bundaku.
“Bunda, Doni masuk lagi. Masuk lagi ke tempat Doni lahir,” kataku.
“Doni…ohh….iya, iya,….sudah masuk, rasanya penuh….ohhh,” kata bunda.
Aku lalu menaik turunkan pantatku. Penisku otomatis menggesek-gesek rongga vaginanya yang becek. Kami berpandangan, mata kami beradu. Pinggul bunda bergerak kiri-kanan membuat penisku makin enak.
“Bunda, bunda…ohh….perjaka Doni buat bunda….ohh…enak bunda….bunda apain penis Doni?” tanyaku sambil melihat matanya.
“Anakku, ohh….bunda enak banget, kepingin keluar lagi, ohh….bunda ndak pernah keluar berkali-kali seperti ini….ohh…aahhh….sshhh,” bunda menatapku lekat-lekat. Kening kami menempel. Bibir kami saling mengecup berkali-kali.
Tak hanya di situ saja, aku sesekali menghisap puting susunya. Keringat kami setelah mandi keluar lagi. Tubuh bundaku yang seksi ini membuatku makin bersemangat untuk menyetubuhinya. Bunda….aku ingin menghamilimu.
“Bunda…ohhh…keluar ….ahh…ahh…di mana?” tanyaku.
“Ohh….ahh..ahh, terserah Doni,” kata bunda. “Tapi…ohh…jangan di dalam…di luar aja…bunda takut hamil…..”
“Maaf bunda, tak bisa, Doni ingin menghamili bunda. Bunda, Doni sampai….Sperma perjaka Doni buat bunda…..ini…ini…!!” “Jangan…jangan…..Doni….ahhh…aduh…bunda juga keluar…..sama-sama…tapi…ahkhh…jangan di dalam….ahhhhhhhhhhh!” bunda mengeluh panjang.
Aku mencium bunda bibir kami bertemu dan pantatku makin cepat bergoyang dan di akhirnya menghujam sedalam-dalamnya ke rahim bunda. Spermaku memancar seperti semprotan selang pemadam kebakaran. Kutumpahkan semua kepuasan ke dalam tempatku dulu dilahirkan. Mata bunda memutih. Pantatnya bergetar hebat karena orgasme. Ia mengunci pinggulku, aku menindihnya dan memeluk erat dirinya sambil menciumnya. Entah berapa kali tembakan, yang jelas lebih dari sebelas. Karena saking banyaknya orgasme itu berasa lama. Memek bunda berkedut-kedut meremas-remas penisku, aku masih membiarkan penisku ada di dalam sana.
Butuh waktu sepuluh menit hingga penisku mengecil sendiri, dan kakinya melemas. Aku pun kemudian bangkit. Bunda tampak lemas, ia seakan tak berdaya. Penisku serasa ngilu. Aku melihat ke vaginanya. Tampak cairan putih menggenang di dalam lubang vaginanya. Aku tersenyum melihatnya. Aku kemudian merebahkandiri di sebelah bunda. Kemudian bunda memelukku, kami pun tidur terlelap.
Siang hari kami terbangun. Aku dulu yang terbangun. Melihat tubuh bundaku telanjang memelukku membuatku terangsang lagi. Aku menciumi bibirnya. Bunda masih tertidur. Aku lalu menggeser badanku, kemudian bangkit. Penisku sudah on lagi, mungkin karena melihat tubuh bundaku. Aku kemudian membuka pantatnya mencari lubang vaginanya. Kemudian segera saja aku masukkan. SLEB…bisa masuk! Masih basah. Mungkin karena sebagian spermaku masih ada di dalam sana. Aku pun menggoyang-goyang. Maju mundur. Posisiku berlutut sambil bertumpu kepada kedua tanganku. Pinggulku mengebor pantatnya. Bunda membuka matanya, iatersenyum melihat ulahku.
“Dasar anak muda, ndak ada puasnya,” katanya.
“Bunda…Doni enak bunda….,” kataku.
Bunda cuma diam melihatku. Aku sesekali meremas toketnya. Aku goyang terus sambil kulihat wajahnya. Bunda memejamkan mata, mulutnya sedikit terbuka, mengeluh pelan.
“Bunda, enak banget…..hhhmmmmhh….keluar…Doni keluar lagi bunda….” kataku. “Pantat bunda enak banget.”
“Doni…ahhh….aaaaahhh…bunda juga…koq bisa ya??” kata bundaku.
Tangannya menarik tanganku, aku berlutut sambil menghujamkan sekeras-kerasnya ke memeknya. Aku pun keluar lagi. Tapi tak seperti tadi. Kali ini cuma lima kali tembakan, tapi begitu terasa. Setelah itu aku mencabut penisku dan ambruk.
“Bunda, Doni cinta ama bunda,” kataku.
“Cinta karena nafsu, kamu bernafsu dengan bunda, makanya seperti ini,” katanya.
“Tapi bunda juga bukan?” kataku menyanggah.
Bunda diam.
“Bunda tidak bangun? Tidak buka toko?” tanyaku.
“Toko tutup dulu, kemarin ibu bilang ke Mbak Juni untuk tutup dulu,” kata bunda. “Bunda ingin istirahat dulu. Badan bunda serasa sakit semua, sebab sudah lama tidak bercinta lagi.”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu, Doni pergi dulu,” kataku.
“Ke mana?” tanyanya.
Aku terdiam.
“Ke mana?” tanyanya lagi.
“Bunda merasa kehilanganku? Berarti bunda juga mencintaiku,” kataku.
Ia mencubit perutku.
“Maunya,” katanya. Kami berpanggutan sebentar untuk beberapa lama sebelum kemudian aku meninggalkan kamar bunda tanpa baju.

*****
Setelah itu, hubunganku dengan bunda berjalan sembunyi-sembunyi. Bunda sering dan selalu melarangku untuk mengeluarkan spermaku di dalam rahimnya, tapi aku tak peduli. Kalau ada kesempatan, saat itulah kami bercinta. Di dapur apalagi. Dan itu pengalaman yang sangat mendebarkan. Bunda bertumpu kepada wastafel. Dan aku menyodoknya dari belakang. Kami melakukan fast-sex karena saat itu Kak Vidia dan Nuraini ada di rumah. Bahkan terkadang kami mencicil hubungan sex kami ketika Kak Vidia dan Nuraini bolak-balik ke dapur.
Belum, bunda belum hamil. Ia masih menstruasi. Tapi nanti ada saatnya beliau hamil. Karena aku yang memaksanya. Tapi itu nanti. Sekarang beralih ke Kak Vidia.

BAB 3

KAK VIDIA

Sebagai seorang aktivis di kampus, kak Vidia selalu memakai jilbab lebar. Bahkan terkadang ia curhat juga kepadaku. Karena saking baiknya terkadang aku masih diperlakukan seperti anak kecil. Namun melihatku yang sangat berbakti kepada bunda, hal itu membuatnya menjadi iri. Ia ingin bisa juga berbakti tapi karena ia masih kuliah, ia pun menyadari bahwa ia tak bisa sepertiku. Makanya ia sangat menghormatiku. Apapun yang aku inginkan pasti diturutinya. Seandainya saja ia mau melepas keperawanannya untukku.
Well, jatah kloroformku masih banyak koq. Tapi kayaknya aku tak kan menggunakannya lagi. Bukan untuk kak Vidia.  Bunda sekarang mulai rajin senam, padahal tubuhnya masih bagus lho. Buah dadanya juga masih padat, perutnya masih langsing, kulitnya juga masih mulus. Tapi hal itu semata-mata ingin mengimbangiku di ranjang aja katanya. Aku bebas menginginkan bundaku kapan saja. Bagaimana awal mula aku dengan Kak Vidia?
Awalnya adalah aku harus menemaninya naik gunung. Nah lho? Yup, karena ia adalah seorang aktivis maka aku harus menemaninya. Muhrimnya bo’. Awalnya aku menolak, tapi ia bilang, “Aku belum punya suami, dan kamu adikku!”
Yah, jadinya aku ikut deh. Acara naik gunung itu merupakan acara ekstra kampus. Kami terpisah jadi beberapa group. Aku pun berkenalan dengan teman-teman kakakku, terutama yang cewek dong. Mengetahui hal itu malah aku dijewer ama kak Vidia. Tingkah polah kami memang kekanakan kalau bersama-sama. Hal itu membuat hiburan tersendiri bagi teman-temannya. Karena tak biasanya kakak adik seakrab itu.
Nah, ketika malam harinya setelah acara api unggun. Kak Vidia memanggilku. Aku yang sedang ngobrol dengan teman-temannya menghampirinya.
“Ada apa kak?” tanyaku.
“Aduh, kebelet pipis nih!” katanya. “Anterin dong.”
“Waduh….” kataku.
“Koq waduh, kayak kita bukan saudara aja,” katanya. “Tolong anterin! Masak aku minta anak cowok lain?”
“Iya deh, iya deh,” kataku.
Kami berdua pun menjauh dari kemah. Agak jauhan dikit sih tapi itulah sialnya. Aku lupa jalan. Kak Vidia membawa tissu. Kemudian ia bersembunyi di balik pohon. Aku cuma bawa senter saja. Setelah beberapa saat kemudian, kak Vidia selesai.
“Udah, balik yuk!” katanya.
“Yuk!” kataku.
Nah, saat itulah aku lupa arah.
“Sebentar tadi kita ke kanan atau ke kiri?” tanyaku.
“Waduh, aku ya mana tau? Kamu gimana sih?” tanyanya panik.
“Ya udah, kita ke kanan aja,” kataku.
Kami pun ke kanan. Karena ini bukan jalan setapak, tapi rerumputan dan semak belukar, kami pun bingung. Setelah lama berjalan, kami makin jauh masuk ke dalam hutan. Perfect. Mana malam hari lagi.
“Lho, koq makin jauh ke hutan?” gumamku.
“GImana sih? Tersesat kaaaan?????” katanya.
“Sebentar…balik lagi yuk,” kataku. Aku pun berbalik lagi. Kami berputar-putar hingga tak tahu arah. Saat itulah aku pun makin sadar bahwa kami makin tersesat.
“Bagus, sekarang kita makin tersesat,” kataku.
“Aduh…gimana dong?” tanyanya.
“Aku ndak bawa Handphone nih,” kataku.
“Aku juga, tapi di sini mana ada sinyal dodol!” katanya.
“Eh, situkan yang suruh dianterin, mana aku tahu kalau kita nanti bakal tersesat?” kataku.
“Wooooiii!!” teriak kakakku.
“SSSTTTT!!” kataku.
“Apa sih? Biar ada orang yang denger tauk!” katanya.
“Bego ya kamu? Kalau kamu teriak-teriak, siapa yang akan datang? Kita ini di hutan! Ingat itu!” kataku.
Kak Vidia menangis. Ia memelukku.
“Koq jadi begini???” tanyanya. Ia menangis tersedu-sedu, “Bunda, Vidia mau pulang.”
“Udah ah, koq nangis sih? Kita cari sungai saja. Biasanya kalau ada sungai maka kita tinggal ikuti aja muaranya pasti akan ketemu peradaban,” kataku.
Aku mencoba menghibur kak Vidia. Akhirnya ia berhenti menangis. Kami pun berjalan lagi, membelah hutan, tanpa arah. Akhirnya kami menemukan suara yang deras. AIR TERJUN!
Tapi karena malam hari, kami tak tahu apapun dan bagaimana pemandangannya. Hanya nyala senter saja yang bisa menerangi sekarang ini. Kemudian saat itulah aku melihat sebuah gua. Lho? Ada gua?
“Lihat, ada gua!” seruku. “Kita istirahat di situ saja dulu. Besok kita lanjutkan. Ini sudah malam dan dingin banget.”
Kabut pun makin tebal. Kak Vidia dan aku masuk ke gua itu. Cukup bersih. Gua itu ada di sebelah air terjun. Kak Vidia duduk di dalam gua, aku mencari kayu bakar dan mencoba menyalakan api. Cukup susah payah agku melakukannya sampai kemudian aku pun bisa menyalakannya. Untung saja aku membawa korek api. Paling tidak malam ini jadi tak begitu dingin.
Aku duduk bersandar di dinding gua sambil menjaga api agar tetap hangat. Saat itulah kak Vidia tampak menggigil. Sebenarnya aku juga menggigil. Aku pun mendekat ke kakakku dan memeluknya. Kami pun berpelukan erat untuk mengusir dingin. Malam makin larut. Api mulai menghangati ruangan gua.
“Aku takut Don, ndak ketemu bunda lagi,” katanya.
“Jangan gitulah, besok kita pasti akan tahu jalan pulang. Karena percuma kalau sekarang kita paksa juga, ndak tau jalan. Kalau saja kita tahu arah utara, mungkin kita bisa pulang, karena kalau terus ke utara kita akan ketemu posko pintu masuk tadi,” kataku.
Kak Vidia mengangguk. Api mulai mengecil, kayunya pun mulai habis. Aku makin erat memeluk kak Vidia. Kak Vidia juga makin erat memelukku. Dan…apinya padam. Hawa dingin mulai menusuk lagi.
“Kak, sebaiknya kak Vidia aku pangku saja,” kataku.
“Ih, ogah ah, Kenapa memangnya?” tanyanya.
“Biar hangat, coba deh sini,” kataku.
Kak Vidia pun mengikutiku. Ia duduk di pangkuanku. Trus memelukku, “Begini?”
“Bukan, buka baju kakak bagian atas!” kataku.
“Kamu gila ya? Aku ini kakakmu jangan macam-macam!” katanya.
“Kita ini darurat, aku janji deh ndak macam-macam. Ikuti saja!” kataku.
Kak Vidia ragu. Ia berpikir. Sambil giginya gemertuk.
“Ya udah deh, tapi ingat jangan macem-macem ya!?” katanya.
Ia membuka kancing bajunya. Aku tak bisa melihatnya karena gelap. Aku pun membuka bajuku yang atas.
“Sudah,” katanya.
“Peluk aku,” kataku.
Ia pun memelukku.
“Eh, tunggu!” kataku. “Branya dicopot juga dong!”
“Kamu udah gila ya?”
“Kak, kita perlu menghangatkan diri pakai tubuh kita, kakak mau mati kedinginan di sini?” tanyaku.
Ia pun akhirnya luluh juga. Dicopot pengait branya. Kemudian ia naikkan branya, sehingga buah dadanya terekspos. Sayangnya gelap. Aku tak bisa jelasmelihatnya. Sementara yang di bawah sana tak bisa diajak kompromi. Langsung tegang.
“Sekarang peluk aku!” kataku.
Dan kami pun berpelukan, tanganku masuk ke dalam bajunya. Tangan kakakku juga masuk ke dalam bajuku. Kami saling mendekap erat untuk memberikan kehangatan. Dadaku beradu dengan buah dadanya. Aku bisa merasakan putingnya yang mengeras karena dingin menekan dadaku. Dan, yang agak mengejutkan adalah selakangan kami saling menempel. Tentu saja kakakku merasakan sesuatu di bawah sana.
“Dik, jangan macem-macem ya, ingat aku kakakmu,” katanya.
“Iya, aku mengerti kak, tapi akukan juga lelaki normal,” kataku.
Lama kami berpelukan seperti itu. Dada kami mulai menghangat.
“Mulai hangat dek,” kata Kak Vidia.
“Iya,” kataku.
“Kak Vidia, maaf ya. Aku melakukan ini,” kataku.
“Tidak mengapa. Kakak ngerti koq,” katanya.
Saat itulah, entah kenapa aku menggosok-gosok punggung kakakku. Dia juga demikian. Aku masih ingat warna pink puting kakakku. Setan pun datang. Aku berdebar-debar. Kak Vidia bisa merasakan debaran jantungku. Dia juga demikian.
“Baru kali ini kakak beginian dengan lelaki, rasanya nyaman,” katanya.
“Kak, boleh Doni memegang dada kakak?” tanyaku.
“Dek, ingat aku kakakmu,” katanya.
“Iya, aku tahu, sebentar saja kak. Doni ndak pernah megang punya wanita,kepengen aja. Gakpapa kan? Kita juga kan pernah mandi bersama dulu,” kataku.
“Tapi kan itu kita masih kecil,” katanya.
“Boleh ya kak, sebentar saja,” kataku.
Kak Vidia ragu. Ia takut membuatku marah akhirnya tak bisa menghangatkan diri lagi dan bisa mati kedinginan. Ia pun bilang, “Iya, sebentar saja ya.” YeS pikirku.
Tanganku pun bergerak memegang buah dada yang sejak dulu ingin aku pegang dari dulu. Pertama aku cuma memegang saja, selanjutnya, aku meraba, mengusap, dan memijatnya lembut. Penisku makin tegang aja di bawah sana. Putingnya yang berwarna pink itu aku pencet-pencet.
“Dek…udah…jangan….!” katanya.
Aku terus melakukannya, merempon istilahnya. Sambil sesekali memelintir-melintir. Kak Vidia mulai gelisah. Kalau ia lepas pelukannya, maka ia takut, kalau ia biarkan, maka aku akan bebas melakukan apapun kepada tubuhnya. Dan dugaannya tak meleset. Kak Vidia lalu mengeluarkan tangannya dari balik bajuku dan memeluk leherku.
“Jangan dek….aku kakakmu!” rintihnya.
Tanganku bergantian meremas buah dadanya. Kiri kanan. Sedangkan tangan kiriku mengusap-usap pantatnya dengan memasukkannya ke dalam roknya dan CDnya. Ruangan gua makin panas. Kak Vidia dilema. Ia cuma membiarkanku melakukan hal itu kepadanya. Aku lalu berhadapan dengannya, aku tak tahu raut wajahnya seperti apa sekarang, tapi aku tahu tempat bibirnya di mana. Bibirku kemudian menempel di bibirnya. Kak Vidia makin pasrah. Ia membiarkan lidahku menari-nari di dalam mulutnya menghisap lidahnya, menyapu langit-langitnya. French Kiss itu membuat Kak Vidia klepek-klepek.
“Kak, aku cinta ama kakak,” kataku.
“Dek Doni…, jangan..hhhmmm,” aku menciumnya lagi. Aku lalu turun ke dadanya, kuhisap putingnya. Kujilati. Manis sekali. “Deeekk….oohhh…hhhmmm..”
Aku terus meremas, menciumi dan menyusu ke dadanya. Kak Vidia makin gelisah. Kalau ia melepaskanku ia takut kedinginan. Akhirnya ia pun nekat, ia mendorongku. Ia menjauh dariku.
“Adek, kenapa adek melakukan hal ini?” tanyaku.
Aku diam.
Cukup lama aku diam menunggu reaksinya. Kemudian aku merasakan ia meraba-rabadalam gelap mencari kakiku. Ketika ia merasakan kakiku, ia pun memelukku.
“Maafkan kakak, karena salah kakak adek jadi begini,” katanya.
Aku tak tinggal diam. Aku tak ingin melepaskannya lagi. Segera aku peluk dia, kupangguti bibirnya. Ia gelapan. Aku baringkan dia di atas batu gua. Aku kemudian menurunkan celana trainingnya, juga CDnya. Roknya aku naikkan. Celananya sudah lepas dan aku melepaskan celanaku, aku segera turun ke sana dan menghisap memek perawanya.
“Dek…jangaaan….aahhkk!” keluhnya.
Ia meronta-ronta, tapi tak ingin melepaskanku. Aku menjilati memeknya yang bersih itu, tak ada bau kencing, bukti bahwa ia sangat bersih menjaga tempat privasinya. Aku sapu lidahku di bibir vaginanya. Lalu aku jilat-jilat seperti kucing, kucolok-colok di lubangnya. Dan yang terakhir aku hisap klitorisnya. Klitoris kakakku ini lebih besar dari punya bunda. Aku hisap hingga pinggulnya terangkat.
“Deekk…enak…kakak enak…” katanya.
Aku mengulangi lagi “memakan” daging kenyal itu. Kuhisap-hisap, dan kutekan-tekan lubang itu dengan lidahku. Klitorisnya aku mainkan, kuhisap, kujilat dan kupijat-pijat dengan bibirku. Kak Vidia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dek…kakak mau pipis….kakak mau pipis….maaf dek….pipiiiiiiiissss!!” kata kak Vidia.
Benar saja, kak Vidia banjir. Ia orgasme. Aku mengisapnya. Beberapa lendir itumkuminum. Agak hangat dan asin. Aku membersihkan bibirku. Kak Vidia lemas di atas batu gua. Aku tersenyum. Kuposisikan penisku. Kuangkat pantatnya. Penisku pun mulai masuk perlahan….perlahan…Kepalanya masuk, tapi susah.
“AAhhkkk…deekk…sakit….jangan!” katanya. Tangannya meraba memeknya danmmendorong perutku. Tapi tak begitu kuat. Aku dorong lagi. Jemarinya menyentuhm penisku. Memeknya berkedut-kedut, seolah-olah menyedot-nyedot punyaku.
Aku tarik lagi kemudian dorong, pelan-pelan. Tarik dorong-tarik dorong. Setiap aku dorong tubuhnya bergetar, kudorong, bergetar lagi dan…SREETTT…aku seperti merobek sesuatu dan tiba-tiba seluruh penisku masuk semua.
“Adeeeekk…..oooohhh….,” ia meraba penisku yang sudah masuk semua. “Kenapa adek melakukan ini? Kenapa adek rela memerawaniku?”
“Kak, aku cinta ama kakak,” kataku. Kemudian aku menggoyang. Aku menindih tubuhnya. Ruangan itu menjadi panas. PLOK PLOK PLOK, suara selakangan kami beradu. Rasa dingin sudah tak ada artinya lagi. Yang ada adalah usaha untuk meraih kenikmatan bersama.
Awalnya kak Vidia mengeluh sakit dan perih. Tapi lama kelamaan ia Cuma mengeluh nikmat. Ah dan uh keluar dari mulutnya. Pikiran kami cuma ada nafsu. Gua itu menjadi saksi bisu bagaimana kedua kelamin kami bersatu. Aku menghisap putingnya lagi. Putingnya sangat mengeras. Aku yakin ia sangat menggairahkan kalau aku bisa melihatnya. Aku masih membayangkan mulusnya dan putihnya kulit kakakku dari video-video yang aku simpan.  Pantatku terus bergoyang hingga aku tak tahu lagi kapan aku bertahan dengan posisi seperti ini, tapi aku makin cepat menggoyangnya.
“Dek, kakak mau keluar lagi. Kakak mau pipis,” katanya.
“Kak, aku juga udah di ujung. Keluar bareng yuk,” kataku.
“Jangan di dalam dek, plisss…jangan….,” katanya.
“Ndak bisa kak, enak banget soalnya. OOOHHH….AAAHH,” kataku.
“Dek….kamu brengseeekk….kakakmu sendiri dientot ….pejumu…pejumu…muncrat!!”, katanya.
“Banyak kak, banyak banget!” kataku. “OH….memek kakak enak, seret, penisku nagih kak….keluar….ooooohhhh!”
“Deek…adeku yang ganteng…jadi bapak anakku…ini masa suburku dek, aku hamil…ohhh…hamil deh…aaaahhkkk!” rancaunya.
Satu, dua, tiga, empat, lima,….sepuluh kali semprotan. Spermaku banyak banget memancar di rahimnya. Kami berpelukan erat sekali. Dan akhirnya, karena kedinginan dan kelelahan, kami pun tertidur.
Sinar matahari membangunkan kami. Gua menjadi hangat. Kak Vidia terbangun pertama kali, disusul aku. Ia melihat vaginanya yang mengeluarkan lendir putih dan merah darah. Darah perawannya. Kak Vidia menoleh ke arahku, lalu ia menamparku dengan keras.
“Kenapa? Kenapa adek melakukan ini?” tanyanya. “Adek sudah janji bukan?”
“Maafin adek kak,” kataku. “Doni khilaf”
“Enak saja, khilaf. Kalau kakak hamil mau tanggung jawab?” tanyanya.
“Iya, aku akan tanggung jawab,” kataku.
“Lalu bagaimana kalau sampai bunda tahu? Betapa malunya bunda,” kata kakak sambil menangis. Ia memeluk kakinya yang tak tertutup apapun itu. Aku lalu memeluknya. Ia tak menolakku.
“Aku akan bertanggung jawab,” kataku. “Mulai sekarang Doni yng jadi suami kakak.”
Kakakku diam. Ia cuma menangis. Tangisnya mulai berhenti ketika aku mengusap-usap tubuhnya. Dan aku pun memanggutnya, kami berpanggutan lagi.
“Dek, sudah dek,” katanya. “Kita pulang yuk!”
“Sekali lagi kak,” kataku.
“Adekku…suamiku,” katanya.
Aku menciumi bibirnya, kami lalu telanjang. Sinar matahari sudah masuk, kini aku bisa melihat jelas tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Aku menciumi dan menjilati lehernya yang jenjang. Wangi tubuhnya aku hirup. Dadanya aku cupangi, ketiaknya aku hisap hal itu membuatnya menggelinjang hebat. Kami memberikan usapan dan ciuman, serta hisapan. Bibir merah muda kakakku pun menciumi tubuhku, putingku, leherku, bibirku, semuanya. Bahkan penisku pun diciuminya.
Aku menuntunnya untuk menungging. Aku posisikan penisku tepat di bibir vaginanya, aku dorong pelan. BLESS…masuklah semuanya. Aku lalu mulai menggoyangnya. Kakakku merintih-rintih keenakan. Ia sepertinya tak terasa sakit lagi. Aku menyodoknya sambil meremas-remas toketnya yang putingnya berwarna pink itu. Cukup lama aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya membentur-bentur selakanganku. Aku pun meremas-remas pantatnya, sambil kubelai dengan kukuku punggungnya.
“Ampun dek, ampun, jangan! ahh…ahh….oh…” keluhnya.
“Kak, pantat kakak enak, memek kakak juga enak,” kataku.
Aku terus memompa keluar masuk. Sepertinya waktu itu sangat lama. Aku bisa menikmati setiap centi penisku menggesek kulit rongga vagina kakakku. Dan aku terkadang menghujam sedalam-dalamnya, vaginanya benar-benar menyedot-nyedot penisku. Aku kemudian berhenti. Kak Vidia tampak lemas. Saat penisku dicabut ia menjerit kecil, “Aww..”
Ia terkulai, kubalikkan tubuhnya. Kubantu ia untuk bangun. Kusuruh ia duduk di pangkuanku. Sebelumnya aku memposisikan kemaluanku masuk lagi ke dalamnya. SLEB…SRETTT…lagi-lagi rongga vaginanya menghisap dan meremas penisku. Oh…seperti inikah rasanya perawan itu. Kami sekarang berhadap-hadapan. Tak ada rasa malu lagi. Ia masih memakai kerudungnya, tapi bawahnya polos.
“Aku cinta ama kakak,” kataku.
“Ini cinta nafsu dek, ini ndak bener,” katanya.
“Tapi kakak suka kan?” tanyaku sambil menekan pantatku ke atas.
“Ohh….adekku yang nakal, habis ini udah ya, kakak capek,” katanya.
Aku lalu merebahkan diri. Ia duduk di atasku. Di posisi ini ia mengangkat pantatnya naik turun, sesekali ia gerakkan maju mundur. Buah dadanya aku remas-remas, ia memegangi tanganku.
“Ohh…dek, kakak hina sekarang….sekarang kakak seperti pelacur….
ohh,…kakak malu,” katanya.

“Engkau pelacurku kak,” kataku. “Oh…kak Vidia.”
“Sebenarnya aku tak mau, tapi penismu dek, ohhh….bikin ketagihan. Kakak ingin saja diperkosa kamu….hhhmmm…ohh….ahh,” katanya.
“Terus kak, goyang!” kataku.
Kak Vidia menggoyang-goyangkan pantatnya, hingga makin lama makin cepat.
“Dek, kakak mau sampai…mau sampai…samp….” ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan kedua pahanya menghimpit pinggangku. Aku merasakan sesuatu cairan membasahi penisku. Ia lalu ambruk di atasku.
Pinggulnya bergetar, merasakan nikmatnya orgasme yang baru saja ia raih. Aku pun kemudian melepaskan kerudungnya, tampaklah sesosok wajah yang cantik. Matanya jeli, bibirnya tipis dan lembut. Rambutnya panjang disanggul. Aku pun melepaskan sanggul itu. Kini rambutnya terurai. Kak Vidia diam menikmati sisa-sisa orgasme. Aku kemudian berguling. Kini bergaya misionari.
Mata Kak Vidia masih terpejam. Aku kemudian mulai bekerja lagi. Aku sedikit berjongkok, Pahanya aku naikkan hingga lututnya sampai ke samping kepalanya, dengan posisi ini aku lalu memompa penisku naik turun. Kak Vidia pasrah, ia hanya menjerit nikmat ketika penisku menggesek-gesek rongga kemaluannya.
“Aaahhkkk….deekk…nikmatt banget..,terusss….,” katanya.
Aku pompa terus keluar masuk. Kemaluannya yang gundul tanpa rambut membuatku makin terangsang saja. Pagi-pagi kami sudah mandi keringat. Aku bisa melihat peluh sebesar jagung di keningnya. Bahkan tubuhku pun basah oleh keringat.
Setelah itu tak berapa lama kemudian aku merasa ingin keluar. Aku posisikan diriku menindihnya, berbaring. Kupeluk dan kucium dia. Pantatku naik turun dengan cepat.
“Kak, aku keluar….ohh….kakk…kakkk, penisku mau nembak lagi,” kataku.
“Deekk…hamili kakak dek,…ahhhkkkk….kakak pasrah…., tembak rahim kakak ama pejuh angetmu!!” katanya.
“Kaaaakkk…..muncraaat!” kataku.
CROOOOTTT!!…CROOOTTT!! CROOOTT CROOOOTT CROOOOOTT CROOOT
Kedua bibir kami menyatu, rasanya kami semua melayang ke awan. Kakakku rela menerima spermaku kali ini. Ia memelukku erat, kakinya mengapit dan mengunci pinggangku. Spermaku terbenam semua di dalam vaginanya. Aku biarkan beberapa saat penisku ada di sana. Meresapi kedutan-kedutan rongga kemaluan Kak Vidia. Hingga kemudian penisku mengecil sendiri. Aku kemudian menariknya.  Tampak spermaku meleleh dari kemaluannya. Kak Vidia lemas. Ia mengatur nafasnya, matanya terpejam pahanya terbuka. Aku lalu merebahkan diri di sebelahnya.

***
Kami setelah itu membersihkan diri di air terjun. Tentu saja mandi keramas, tapi tanpa shampoo. Dingin sekali airnya, setelah itu kami mengikuti arah matahari, sehingga akhirnya sampailah kami di pos yang aku maksudkan. Rombongan kami ternyata juga mencari kami. Kami kemudian bercerita bahwa kami tersesat kemudian bermalam di gua. Insiden itu mengubah hidup kami berdua. Kami seperti orang pacaran sekarang. Kak Vidia selalu manja kepadaku. Awalnya bunda tidak curiga terhadap hal ini. Bahkan Kak Vidia sekarang berani untuk tidur di kamarku, dan kami terkadang melakukannya lagi di kamarku.
Baiklah ini cerita Kak Vidia. Hubungan kami sangat rahasia sebenarnya. Aku dan bunda masih melakukannya, juga dengan kak Vidia. Dan untunglah, kak Vidia juga masih menstruasi. Tidak jadi hamil.

BAB 4

NURAINI

Satu-satunya yang memergokiku bercinta dengan bunda adalah Nuraini. Saat itu aku tak mengira kalau Nuraini akan pulang lebih awal. Aku dan ibuku sedang bercinta hebat di atas kasur. Dan saat itu akulah yang sadar. Aku lupa menutup pintu, ibuku membelakangi pintu dan posisiku saat itu memangkunya. Terlihat jelas penisku masuk ke kemaluannya dan Nuraini terbelalak menyaksikan kami berdua. Ia mematung sejenak, namun karena aku juga menatap matanya, ia pun segera pergi. Segera setelah itu aku menggenjot bunda lebih cepat untuk orgasme. Setelah selesai. Aku buru-buru mencabut penisku.
“Tumben cepet, ada apa?” tanyaku.
“Nuraini melihat kita bunda,” jawabku.
“Apa?” bunda kaget sekali.
Ia segera berpakaian. Aku juga. Dan saat itu tampak Nuraini diam saja melintasi kamar kami. Aku dan bunda saling berpandangan.
“Nur! Nur!” panggil bunda. Tapi Nuraini tak menoleh.

****
Malamnya Nuraini tampak membisu di depan tv. Aku dan bunda pun ada di sana.
“Kenapa bunda dan kakak melakukan hal itu?” tanyanya.
“Maafkan bunda Nur, bunda melakukannya karena memang ini salah bunda. Karena bunda sudah lama ditinggal ayahmu. Dan karena bunda takut untuk dekat dengan lelaki lain,” kata bunda.
“Tapi kenapa harus kak Doni?” tanyanya.
“Ya karena bunda takut dengan lelaki lain, itulah sebabnya,” jawab bunda.
Nuraini menutup wajahnya.
“Terus terang Nur malu bunda, malu. Kenapa bunda malah melakukan hal yang memalukan itu bersama anak sendiri?” tanyanya.
“Nur, dengarlah….kakak melakukan ini karena suka sama suka. Bukan karena paksaan dan juga karena kakak kasihan kepada bunda. Tahukah kamu bagaimana bunda sangat merindukan ayah? Kalau misalnya bunda dengan lelaki lain yang tidak jelas melakukannya apa kamu rela? Mau kamu bersama lelaki lain yangtidak jelas asal-usulnya, rela kamu punya ayah baru yang tidak bisa membahagiakan bunda?” tanyaku.
Nuraini diam. Ia menatapku. Ia berpikir sejenak.
“Tapi…. kenapa harus kakak?” tanyanya.
“Karena kakak orang yang mendekati ayah. Kakaklah orang yang dibutuhkan oleh bunda dan karena kakak selalu ada di samping bunda, makanya siapa lagi yang bisa dipercaya oleh bunda? Kakak selalu ada di sisi Bunda, kakak tahu ini salah, tapi apakah kamu tega dengan perasaan bunda?” tanyaku.
Nuraini terdiam. Ia melihat ke arah bundanya.
“Nur, maafkan bunda,” bunda memeluk Nuraini.
“Nur, bisa memaafkan bunda. Asalkan Nur minta satu hal bunda,” kata Nur.
“Apa itu sayangku?” tanya bunda.
“Ijinkan Nur bersama bunda menjadi suami kakak,” kata Nur dengan lugu. Kami berdua terkejut.
“Nur, itu tidak mungkin,” kata bunda. “Kamu adiknya.”
“Kalau bunda boleh kenapa Nur tidak? Sebenarnya saya sudah lama mengagumi kakak sendiri, mungkin Nur terkena sister complex, tetapi terus terang Nur kecewa ketika melihat Kak Doni begituan ama bunda, cemburu Nur. Cemburu ama bunda,” kata Nur sambil terisak.
Bunda terdiam. Ia pun bingung. Saat itulah Kak Vidia baru pulang dari kampus. Ketika melihat kami semua berkumpul ia pun bingung.
“Ada apa?” tanya Kak Vidia.
“Baiklah, memang semuanya harus tahu apa yang terjadi karena kita adalah keluarga,” kataku. Kemudian aku menceritakan semuanya. Hubunganku dengan bunda, dan bagaimana aku suka kepada kakakku sendiri. Kemudian juga Nur yang juga suka. Ini benar-benar keluarga incest.
“Kita semua memang salah, ini sudah terlanjur,” kata bunda. “Maafkan bunda yang tidak bisa mendidik kalian. Baiklah ini hanya jadi rahasia kita. Maukah kalian menjaganya? Vidia? Doni? Nur?”
Kak Vidia tampak matanya berkaca-kaca.
“Mulai sekarang, Doni adalah kepala rumah tangga. Terserah kepada dia ingin menggilir siapa. Bunda ijinkan dia menjadi suami kalian. Demi keutuhan keluarga ini. Bagaimana? Kalian setuju?” tanya bunda.
Kak Vidia langsung memeluk bundanya, “Bunda, Vidia sangat bahagia sekali.”
Nur juga memeluk bundanya. Aku terdiam. Bingung dengan keadaan ini sekarang.
“Doni, sekarang kamu adalah suami kami. Perlakukanlah kami dengan baik. Diluar memang kita adalah keluarga, tapi di dalam kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jadilah kepala keluarga yang baik. Malam ini bunda akan menyiapkan Nur untukmu, karena Nur masih gadis. Vidia, tolong siapkan suamimu,” kata bunda.
Kak Vidia mengangguk. Aku kemudian digandeng kak Vidia ke kamarnya. Di dalam kamarnya kak Vidia mencubit pipiku.
“Kalau sainganku bukan bunda dan adikku sendiri, maka aku pasti akan marah  habis-habisan kepadamu dek. Tega-teganya berselingkuh,” kata Vidia.
“Maafkan aku,” kataku. Kak Vidia menggeleng. “Kau tidak salah. Ibu memang sedang rindu kepada ayah, pantas kalau beliau memilihmu. Karena kamu sangat mirip ayah. Entah kenapa, aku malah senang. Sini copot bajunya, aku mandiin”
Kak Vidia cekikian. Dia kemudian melepaskan bajuku satu per satu. Lalu ia pun begitu. Kami berdua masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya Kak Vidia. Baru bulan kemarin kami membangun kamar mandi ini. Di dalam kamar mandi ini kami membersihkan diri, tapi juga sebenarnya adalah saling membelai. Aku menciumnya sambil memberikan sabun ke tubuhnya. Kak Vidia juga begitu, ia mengusap sabun ke seluruh tubuhku, bahkan menggosok-gosok dadaku, perut, ketiakku, penisku diurut-urut. Aku juga menyabuni buah dadanya, pantatnya. Ketika penisku yang tegang itu menyentuh kemaluannya ia mencubit perutku.
“Simpan tenagamu buat Nur, kita lakukan ini besok saja ya. Ini nih, udah besar nakal juga ternyata,” ia meremas otongku. Aku mengangguk.
Air pun mengguyur tubuh kami, terasa wangi tubuhku. Setelah itu aku balik ke kamarku, meninggalkan kak Vidia di kamarnya.Di sana aku memakai baju yang terbaik. Entahlah, aku koq malah seperti pengantin. Di dalam kamarku aku menunggu. Entah apa yang akan terjadi kemudian. Saat itulah pintu kamar di ketuk, Kak Vidia sudah ganti baju. Ia lalu duduk di sebelahku.
“Malam ini, engkau akan mengambil keperawanan Nur. Ada rasa tak rela sih, tapi karena Nur adalah adikku juga maka aku nasehatkan kepadamu, tolong jangan sakiti dia seperti engkau menyakitiku dulu,” katanya.
“Apakah dulu aku menyakiti kakak?” tanyaku.
“Bukan, maksudku saat pertama kali masuk, aku sangat perih, perih sekali. Aku takut dia nanti kaget dengan ukuranmu itu. Hati-hatilah, nikmatilah malam pertama ini. Aku akan tunggu kamu besok, ok?” kak Vidia mengedipkan mata. Kami lalu berciuman sebentar setelah itu ia meninggalkanku.
Tak berapa lama kemudian pintu diketuk lagi, Nur masuk diantar oleh bunda. Alamak cantik sekali. Aku tak pernah melihat Nur secantik ini. Ia didandani oleh bunda seperti bidadari. Ia masuk ke kamarku.
“Bunda tinggal ya,” kata bunda. Lalu ia pergi.
Nur kemudian duduk di sampingku.
“Ini Nur? pangling kakak,” kataku.
“Kak, Nur masih tak tahu bimbinglah ya,” katanya.
Aku mengangkat wajahnya. Kukecup keningnya. Kedua kelopak matanya, hidungnya, pipinya, lalu bibirnya. Saat itu Nur masih kaku. Tapi aku tuntun. Kubuka sedikit mulutnya dan lidahku dan lidahnya sudah saling menghisap. Lipgloss yang ia pakai terasa manis. Aku kemudian mengajak dia berdiri. Nur tak terlalu tinggi. Ia setelingaku. Kulepas bajunya satu per satu. Ia pun melepas bajuku. Kini kami berdua hanya memakai celana dalam. Kerudungnya aku lempar ke lantai. Kusuruh ia berlutut.
“Buka celana dalamku ya,” kataku.
Nur melihat tonjolan besar di dalam sana. Ia penasaran dan ragu. Kemudian perlahan ia menurunkannya. Sebatang daging keras, berurat, panjang dan besar tiba-tiba keluar. Ia agak kaget. Entah karena ukurannya atau yang lain.
“Coba pegang, ciumi dan rasakan,” kataku.
Nur pun melakukannya. Ia masih amatir. Terasa kaku bila memegang penisku. Ia ciumi kepala penisku. Rasanya tak muat kalau penis ini masuk ke mulutnya yang mungil. Kutuntun dia untuk mengurut penisku. Kemudian aku ajari untuk menjilatinya, Nur tidak jijik, malah ia antusias, selalu bertanya, “Seperti ini? Apakah seperti ini?”
Ia kutuntun untuk menghisap telurku, menjilati pangkal penisku, kemudian memasukkan penisku ke mulutnya. Benar penisku tak cukup. Bahkan cuma kepalanya saja yang bisa masuk ke mulutnya yang mungil. Maka dari itu ia berikan rangsangan dengan memainkan lidah di ujung penisku, sambil mengocoknya. Enak sekali. Aku nikmati sensasi mulutnya, lidahnya memberikan rangsangan yang luar biasa, mungkin karena ia masih lugu ia melakukan apapun yang aku inginkan. Setelah agak lama ia mengoral, aku menyuruhnya menyudahinya.
Nur aku suruh berdiri, kuciumi dia. Ia menyambut ciumanku, kemudian kuciumi dan kuhisap lehernya, kujilati telinganya. Ia menggelinjang. Saat aku hisap lehernya, kutinggalkan bekas di sana. Aku merasakan bulu kuduknya merinding. Kemudian aku turun ke buah dadanya yang mirip bunda besarnya. Aku memang seakan tak percaya ia masih kecil tapi buah dadanya besar. Kubuka pengait branya. Saat itulah seolah-olah bra itu menahan luapan susu. Langsung buah dada itu seperti meloncat. Bra itu pun aku buang. Kemudian aku beri lagi cupangan-cupangan di buah dadanya yang putih, seputih susu. Lalu ia aku ajak untuk merebahkan diri ke ranjang.
Kuremas-remas buah dadanya, kanan dan kiri. Kupenceti putingnya.
“Ohh….kaakk…,” keluhnya.
Aku mengisapnya, menghisap puting yang berwarna pink kecoklatan itu. Kujilati, kuhisap lembut, kuat sambil kuremas. Nur meremas-remas rambutku, meremas-remas kepalaku. Kurasakan bulu kuduknya merinding lagi. Dan ketika aku jilati di bagian buah dada dan ketiaknya, ia merintih hebat. Sepertinya itu titik hotspotnya. Kumainkan lidahku di sana.
“Kakk…jangan disitu, geli…Nur…Nur mau pipis…,” katanya.
Aku tak peduli, ia mendorong tubuhku agar tidak melakukan hal itu di situ. Aku tetap pada pendirianku, kujilati tempat itu pantatnya pun terangkat dan ia meringkuk.
“Nur pipis kak, Nur pipis,” katanya.
Aku menghentikan aktivitasku. Kuraba kemaluannya. Becek, banjir lendir. Ia sudah orgasme hanya dengan begitu saja? Aku lalu turun ke perutnya. Kuciumi perutnya, ketika kuciumi tempat di bawah perutnya antara vagina dan perut, ia merinding lagi. Kuteruskan sampai ke vaginanya, ia menghimpit kepalaku dengan kedua pahanya.
“Kak, Nur pipis lagi,” katanya.
SERRR…SERRR, aku melihat cairan bening kental menyemprot dari vaginanya. Ia sudah orgasme untuk kedua kali? Aku menggeleng-geleng. Kuciumi pahanya, kujilati, kuhisap keharuman tubuhnya. Dan sepertinya mau tak mau Nur harus siap sekarang.
“Kaak,… itunya Nur gatel banget,” katanya.
“Nur, kakak mau masukin, udah siap?” tanyaku.
“Siap kak, masukin aja,” katanya.
Aku dengan perlahan memposisikan penisku untuk masuk. Lendir yang keluar dari kemaluannya mempermudah posisi penisku untuk bisa masuk, sesenti dua senti. Nur meremas sprei tempat tidurku. Tidak bisa masuk. Aku tekan tarik tekan tarik, hingga kepala penisku masuk semua. Dan ketika aku dorong lagi ada sesuatu yang mengganjal. Wajah Nur berubah. Ia memejamkan matanya kuat-kuat dan meringis. Aku menciumi bibirnya untuk memberikan efek agar ia tak merasa sakit. Penisku berkedut-kedut, ditambah rongga kemaluannya yang makin lama makin meremas-remasku. Satu tekanan dan SREEETTT….Nur memelukku erat.
Ia mencakar punggungku dengan kukunya, aku menindihnya memeluknya sambil kucium dia. Kedua pahanya mengapit pinggulku. Penisku diremas-remas oleh rongga yang sempit. Memek Nur serasa vacum cleaner, menyedot-nyedot penisku, meremas-remas seperti penggiling, ngilu rasanya tapi enak. Aku mendiamkannya sejenak merasakan sensasi ini.
“Kak, Nur udah tidak perawan ya sekarang?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Ia memelukku, “Nur bahagia banget bisa mempersembahkan keperawanan Nur buat kakak.”
Aku lalu mendorong naik turun. Nur meringis lagi. Awalnya ia kesakitan, setelah agak lama aku goyang secara teratur ia pun tak sakit lagi, malah ikut menggoyangkan pantatnya.
“Kak, seperti inikah rasanya bercinta. Nur merasa enak sekali, penis kakak serasa penuh,” katanya.
“Nur, kakak merasa enak juga. Memek Nur meremas-remas penis kakak,” kataku.
“Kakak suka?” tanyanya.
“Iya, kakak suka,” jawabku.
“Aku cinta ama kakak,” katanya.
“Aku juga,” kataku.
Aku pun berpacu lagi, menuju puncak kenikmatan. Suara selakangan kami memenuhi kamarku. CLEKK CLEEKK CLEEEK…becek sekali vagina Nur, membuat pelumas untuk bisa penisku bergerak keluar masuk.
“Nur, kakak mau keluar,” kataku. AKu sudah tak kuat lagi, rangsangan memeknya terlalu kuat, aku seperti diremas-remas, apalagi Nur juga pinggulnya ikut gerak. Sensasi ini tak bisa kutahan lagi untuk ditumpahkan.
“Nur ingin hamil kak, Nur ingin punya anak dari kakak,” katanya.
“Nur…ohhh,”
“Kaaakkk….aahh…ahhh….aaahhhhh,”
Meledaklah spermaku di dalam rahimnya. Nur memelukku erat, penisku banjir oleh lendir. Rahimnya kusemprot berkali-kali, entah belasan kali rasanya. Ngilu sekali, apalagi aku benamkan penisku sedalam-dalamnya hingga mentok. Aku yakin itu spermaku berhamburan mencari ovum. Di dalam sana penisku berkedut-kedut, menyeruak memompa cairan-cairan kenikmatan mencari tempatnya. Membasahi rongga yang dingin, menghangatkan rahim Nur. Nur mengapit pinggulku dengan kedua pahanya. Dada kami bersatu, tubuh kami bersatu, hingga kemudian ia pun lemas.
Aku tak mencabut penisku dulu. Membiarkan semprotannya berhenti, aku tekan biar semua spermaku habis dulu, setelah itu perlahan aku cabut. Nur meringis ketika penis itu aku cabut. Seketika itu sebagian sperma ikut keluar bersama darah perawan, bercampur menjadi satu. Setelah itu kami tidur dalam satu selimut. Nur memelukku. Kami melewati malam yang indah itu dan tak terasa pagi pun menjelang.

****
Aku terbangun, tak mendapati Nur. Tapi di meja kamarku aku bisa mencium aroma kopi. Apakah itu yang membuat Nur? Aku kemudian bangun dan melihat spreiku ada bercak darah. Aku pun berpakaian dan keluar kamar. Masih sepi, orang-orang belum melakukan aktivitas. Nur sepertinya mandi aku pun ke kamar mandi. Aku tak perlu mengetuk pintu,langsung masuk. Ternyata benar. Ia mandi.
“Kakak?” ia tersenyum.
Aku kemudian ikut mandi bersama. Kulepaskan bajuku. Kami kemudian berpelukan di bawah shower. Berciuman, saling membelai. Aku pun terangsang lagi. Ia kudorong ke dinding kamar mandi. Kaki kirinya aku angkat, dan penisku aku masukkan ke memeknya. BLESS, lancar. Aku pun menggoyangnya. Nuraini memejamkan matanya,aku menghisapi teteknya, pantatku menghujam ke memeknya dengan irama yang menggairahkan. Karena masih pagi mungkin, aku cepat sekali keluar.Apalagi memeknya masih seret dan menyedot-nyedot. Spermaku pun keluar. Ia memelukku.
“Kakak ih, belum apa-apa udah langsung nyerang. Nur pipis lagi nih,” katanya
“Kamu koq gampang banget pipis sih?” tanyaku.
“Ndak tau kak,” katanya.
Penisku aku cabut.
“Sini aku bersihin,” kata Nur.
Ia pun menyabuni tubuhku. Hari itu adalah hari teraneh dan terbahagia dalam hidupku.
Begitulah ceritaku terhadap keluarga-keluargaku. Menjadi suami dari ketiga anggota keluarga sendiri itu tak mudah. Tapi walaupun begitu, tak ada satu rasa cemburu. Bahkan ketika aku ngentot dengan Kak Vidia di ruang tamu misalnya, bunda tahu tapi membiarkan. Atau ketika aku bercinta dengan bunda di dapur misalnya, aku tak malu lagi atau sembunyi-sembunyi. Ketika Nur melihatnya ia diam saja, memaklumi. Dan ketika Nur menjerit-jerit keenakan ketika kami bercinta di sofa, Kak Vidia malah bilang agar jangan kenceng-kenceng jeritnya. Pengalaman yang aneh adalah ketika mereka bertiga mengoral penisku. Awalnya sih cuma bercanda saja.
“Ih kak Doni, kepengen bercinta di mana aja. Di dapur, di sofa, di ruang tamu,di kamar mandi. Dasar,” kata Nur.
“Iya nih, mentang-mentang punya tiga istri,” kata Kak Vidia.
Saat itu bunda sedang mengoralku. Aku duduk di sofa dan bunda berlutut di hadapanku.
“Kalau mau, ya silakan ikutan,” kataku sambil tertawa.
Nur dan Vidia berpandangan, mereka berdua mengangguk. Lalu tiba-tiba mereka berada di dekat bunda berlutut juga di hadapanku. Mereka membagi penisku. Menjilati bergantian, mengoral bergantian. Kadang berebut telurku. Aku yang mendapatkan perlakuan ini tentu saja mana tahan. Dan ketika spermaku keluar, mereka saling berebut untuk menghisapnya dan menjilatinya sampai bersih. Ohhh…nikmatnya.

Komentar

FAHRUL0856@ mengatakan…
Sungguh anak yang sangat berdosa
Anonim mengatakan…
Lanjutan mana nich ye hadeuh Malik suka ceritanya bro

Postingan populer dari blog ini

Cerita Seks: Bocah Nyusu Plus Ngentot Efni

Mama Gitu Dehh 1 - 5

Tukang Kebun yang Menggarap Memekku